I Never Give Up on You (Teenlit)
Berawal saat aku melihat
seseorang memperhatikan kami bermain basket. Ketika itu, dia selalu duduk di sana
sendirian atau dengan teman-temannya memperhatikan seseorang di antara kami,
yaitu Ramon.
Saat Ramon berbicara dengan
gadis-gadis setelah pertandingan berakhir, ada kecemburuan di matanya. Ketika Ramon
melihat ke arahnya, ada senyum di matanya. sejak saat itu, memperhatikannya
menjadi kebiasaanku, layaknya Thirta yang suka memperhatikan Ramon.
Seperti halnya aku, cintanya
bertepuk sebelah tangan. Ramon tidak pernah menganggapnya lebih dari sekedar
sahabat dan hatinya sering disakiti karna Ramon lebih memilih wanita lain untuk
dijadikan pacar. Meskipun begitu, Thirta tidak peduli dan tetap menemani Ramon saat
sedang membutuhkannya. Karna itu, dia sering kusebut cewek bodoh, jelek dan
kejam.
Kenapa aku bilang dia bodoh?
Karna dia tidak sadar telah mengejar laki-laki yang menggantung perasaannya. Thirta
tetap menunggu sampai Ramon mengungkapkan perasaan padanya.
Kenapa aku bilang dia jelek?
Karna dia hanya menyadari kekurangannya, penyebabnya pun pasti gara-gara Ramon
yang tidak pernah melihatnya sebagai makhluk yang sangat indah.
Dan yang terakhir kenapa aku
bilang dia kejam? Karna dia tidak pernah membalas surat yang kuberikan padanya,
surat tentang bagaimana aku sangat mencintainya dan agar dia berhenti mengejar
Ramon.
Setiap kali meminta balasan
dari setiap surat yang kukirim, dia selalu mengalihkan pembicaraan atau yang
lebih kejamnya lagi dia pergi begitu saja. Hatiku gundah setiap kali
memikirkannya. Aku mencintainya dan cinta itu datang untuk ditunjukan. Aku tau
orang yang dia cintai bukan aku, tapi aku akan menunggu hari dimana dia bisa
menyukaiku. Aku ingin membuatnya sadar kalau selama ini orang yang dia cari
untuk mencintainya adalah aku, MILAN.
***
Aku masuk ke dalam kelas, berjalan
ke tempat dudukku dibarisan ketiga paling belakang, dari kejauhan aku menemukan
sebuah surat berwarna biru dengan cepat aku kesana lalu membacanya...
Apa
yang kamu rasakan memang tak seperti apa yang aku rasakan, apa yang dia rasakan
aku masih belum tahu sampai saat ini tapi aku masih akan terus menunggu sampai
dia mengungkapkan yang sebenarnya tentang perasaannya padaku.
Dan
untuk kesekian kalinya aku minta maaf
THIRTA
Aku terduduk lemas setelah
membacanya, perasaanku campur aduk, aku geram, aku sedih, aku bosan. Apa kelebihan
Ramon? Apa yang membuat thirta jadi tergila-gila dengannya begitu? Kita berdua
sama-sama anak basket, permainanku tidak kalah bagus darinya, begitupun dengan
tampangku karna aku blasteran jerman, ototku tidak kalah banyak, apalagi
uangku. Aku cuma kalah jumlah mantan saja darinya, itu pun bukan hal yang
pantas untuk dibanggakan. Hal yang harus dibanggakan adalah ketika aku berhasil
mendapatkan cinta thirta dan melihat ramon menyesal telah menyia-nyiakannya.
Walaupun hari ini ditolaknya
lagi, niat dan besarnya cintaku padanya, tidak akan hilang begitu saja, aku
malah akan lebih keras menunjukkan cintaku.
***
Aku membawa lari bola, lawan
tak kalah kencang berlari untuk menghalangiku. Semua temanku terkunci gerakan
lawan hingga aku segera menshooting bola ke ring tapi sayang meleset. Ramon merebut
bola, meneruskan perjuanganku kemudian menshootingnya langsung dan sialnya masuk.
Dengan arogansi tinggi dia tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya
tinggi-tinggi sekedar menunjukkan dada bidangnya. Terdengar sorak sorai dari
pendukung tim kami. Aku merasa dukungan itu hanya untuk Ramon seorang.
Seperti biasa, Thirta berada di
pinggir lapangan untuk menyemangatinya juga. Dia segera memalingkan wajah saat
menyadari tatapanku. Sementara aku mendesah panjang lalu kembali bermain.
Budi menerima operan bola dari
Raihan. Budi beranjak mengoper bola pada Ramon, tapi Ramon sedang dikawal tiga
orang lawan. Budi memutuskan untuk memberikan bola padaku lantaran aku bebas. Aku
dapat, dengan sigap segera menshooting dengan kencang ke dalam ring dan kali
ini masuk.
Tepuk tangan dari para siswi
yang selama ini kutunggu-tunggu seolah mengeringkan semua keringat yang
berkucuran tidak henti di seluruh tubuhku. Bersamaan dengan peluit panjang yang
menandakan pertandingan berakhir dan kemenangan jatuh pada tim kami.
Semua berpelukan, aku
tersenyum, beranjak menghampiri Thirta tapi lagi-lagi kedahuluan Ramon. Aku
jengkel, jantungku serasa ditusuk 70 belati tajam dan aku siap untuk mati
karena kedasyatan kecemburuan ini, terutama kebaikannya yang sama sekali tidak
pantas diberikan untuk orang seperti Ramon.
Aku lantas mengambil bola
basket yang tergeletak di tengah lapangan. Tanpa pikir panjang aku
melemparkannya tepat ke kepala Ramon, dia meringis kesakitan sambil
mengelus-ngelus kepalanya kemudian menoleh ke arahku tajam.
”Maaf, gue nggak sengaja,” ucapku setelahnya.
Bodoh! Kenapa aku harus meminta maaf.
Kufikir dengan begitu masalah
akan selesai namun tidak baginya. Ramon menghampiriku, garang. Dia memukulku
sampai aku terkapar. Aku segera membangunkan diri sambil mengelap darah yang
menetes dari sudut bibirku.
”Apa-apan si lue? Kan gue udah minta maaf!”
bentakku, semua murid menatap kami.
”Lue emang pantes dapat itu!”
”Kan gue udah bilang kalo gue nggak sengaja!”
”Gue mukul lue bukan gara-gara itu! Lue orang yang
sering neror Thirta pake surat nggak jelas itukan? Kalo nggak mau dapet
tonjokan dari gue lagi, gue peringatin lue berenti ngejar-ngejar dia!”
”Emang lue siapa? Kenapa lue marah? Dia bukan
milik lue kan?” aku membrondong pertanyaan hingga membuatnya membungkam detik
itu juga.
”Gue suka sama dia!” jawabnya pelan dengan tatapan
mata yang lembut tidak segarang saat memukulku tadi.
Aku tersenyum muak mendengar
alasannya. Dengan setumpuk amarah, bogeman mentahku langsung menuju pipinya.
Dia tidak terima dan membalasku sampai akhirnya kami adu jotos, sampai semua
orang mendekat untuk memisahkan kami.
***
Aku dan Ramon sekarang duduk
di ruang kepsek, wajah kami babak belur akibat perkelahian tadi. Kami saling
bertatapan tajam di ruang yang bersuasana sunyi dan dingin karna AC. Ditengah
permusuhan batin kami, Thirta menghampiri Ramon untuk mengajaknya ke ruang
kesehatan. Aku ingin menjelaskan kejadian tadi dan membuatnya mengetahui kalau
ini demi dirinya.
Tapi dia menatapku penuh kecewa dan banyak
yang bisa aku artikan, aku telah menghancurkan hidupnya, aku sengaja membuat
perkelahian ini dan yang paling menyakitkan adalah AKU pengganggu baginya.
Aku hanya dapat terdiam sambil
menatapnya pergi keluar ruangan sambil memapah Ramon. Sesekali wajahnya menoleh
kearahku, untuk apa tatapan itu kalau dia membenciku?
Setelah diceramahi cukup lama
oleh Pak Kepsek, aku pergi ke ruang kesehatan untuk mengobati luka memar di
wajahku. Terdengar keributan saat aku berada di depan pintu. Aku mengenal suara itu, aku pun mengintip dari
balik pintu. Ternyata keributan itu datang dari pacar Ramon yang sedang
memaki-maki thirta.
”Dasar cewek pengganggu! Apa lue nggak tau kalo ramon
udah ada yang punya? Gue liatin setiap hari lue selalu nempel sama Ramon terus.
Percuma buang-buang waktu, Ramon nggak bakalan naksir sama cewek kaya lue.
Berkali-kali ditolak nggak buat lue menjauh yah, sebaiknya lue ngaca betapa
murahnya harga diri lue!” maki Nina.
Thirta menunduk tanpa melawan
sedikitpun, sedangkan Ramon membungkam diantara mereka, sama sekali tidak
membelanya. Dengan spontan kakiku melaju masuk ke dalam, menampar Nina.
”Kurang ajar!” Nina geram sambil memegangi
pipinya.
Ramon dan Thirta terkejut dengan kedatanganku.
”Gue nggak akan ngelakuin itu kalo mulut lue bisa
dijaga!” balasku.
Aku menoleh ke arah ramon, jari telunjukku
menunjuk wajahnya, “Dan lue! Jangan sekali-kali bilang suka sama seseorang kalo
bisanya cuma nyakitin perasaan orang yang lue suka. Pasti suatu saat ada orang
normal yang bakal negor kelakuan lue!” sambungku.
Lalu aku menarik tangan Thirta
untuk segera pergi dari kedua orang yang sama-sama tidak waras.
Kami berjalan sampai di lorong
sekolah yang sepi, ketika itu dia melepaskan tangannya yang kupegangi erat hal
itu membuat langkah kami terhenti. Aku berbalik badan, dia menangis membuat
sakit.
”Sakitkan?” tanyaku lirih.
”Kamu nggak perlu ikut campur!” jawabnya,
segugukkan.
”Bagaimana aku nggak ikut campur, orang yang aku
suka dihina seenaknya. Kenapa kamu selalu nutupin kesedihan kamu didepannya?
Apa kamu gengsi karna bertepuk sebelah tangan?” tanyaku, dia semakin deras
mengeluarkan airmatanya.
Aku tau dengan jelas bagaimana
perasaannya, betapa sulitnya, betapa sakitnya, betapa pusingnya. Menunggu
dengan mengeluh seseorang yang kita cintai dapat menerima cinta kita dengan
tulus.
Bisa diibaratkan kita adalah
sebuah bayangan dari orang yang kita cintai. Seseorang mungkin tidak perlu
menyadari bayangannya, namun bayangan membutuhkan seseorang agar menjadi sebuah
bentuk dan bentuk yang kuinginkan dari seseorang yang kucintai adalah cinta.
”Jangan menyia-nyiakan airmata kamu untuk orang
seperti itu, dia tidak berhak ditangisi ataupun diberi cinta. Seorang laki-laki
yang nggak bisa ngerti perasaan wanita nggak bisa disebut sebagai pria. Bahkan,
dia juga nggak bisa disebut sebagai laki-laki kalau sudah menjatuhkan setetes
saja airmata dari wanita sebaik kamu!” ujarku dalam.
Thirta berhenti menangis pada
saat itu juga, matanya memandangiku tanpa henti sambil sesekali menumpahkan
airmata kepipinya. Aku menghapus airmatanya dengan sapu tangan yang kuambil
dari sakuku.
”Milan, terima kasih,” ucapnya lembut.
”Jadi...?” tanyaku, tersenyum menggoda.
Thirta menganggukkan kepalanya
dengan malu-malu, itu tandanya dia menerimaku. aku tertawa kegirangan sambil
dengan sengaja menarik tubuhnya kepelukanku. aku memeluknya dengan erat, erat
sampai takkan pernah terlepaskan.
Di tengah itu, senyumanku
tiba-tiba saja terhenti saat melihat Ramon telah mengawasi kami dari balik dinding.
Sekarang dia pergi dengan wajah yang penuh dengan kekecewaan, mungkin dia menyesal
setelah melihatku akhirnya mendapatkan cinta Thirta. Aku tidak perduli tentangnya
ataupun perasaannya, dia pasti akan menyesal seumur hidup, aku jamin itu.
Komentar
Posting Komentar