Kemerdekaan Manusia Phobia Sosial


Kemerdekaan yang gue pahami paling sederhana adalah kebebasan. Kebebasan bisa diesensikan lagi bila seseorang terlepas dari segala tekanan, masalah dan urusan-urusan pelik lainnya. Pembahasan terkrusial kali ini mengenai “terbebasnya gue dari phobia sosial”. Phobia sosial sendiri dikenal dengan bahasa kerennya Sosial Anxiety Disorder yang mana bisa dikategorikan sebagai penyakit kecemasan yang ditandai dengan munculnya ketakutan pada situasi sosial, menyebabkan tekanan serta ketidakmampuan berfungsi secara normal dalam pergaulan sang penderita.

Phobia tersebutlah yang menggerogoti perkembangan mental sosial gue dari 2013 ke belakang. Banyak teori serta solusi yang bisa dibaca lima menit kelar, tapi percayalah prakteknya butuh bertahun-tahun. Cara satu-satunya yaitu banyak berinteraksi dengan berbagai orang.

Gue sedikit mengenang masa kanak-kanak yang menyebabkan phobia ini muncul.

Well, dari kecil gue adalah anak manja yang segala urusannya diselesaikan orang tua, yang segala kemauannya harus dituruti. Contoh sedikitnya, semisal gue nggak bisa kerjain pekerjaan rumah, kemudian orangtua gue bayar seseorang untuk menyelesaikan hal itu.
Lainnya, ketika semua nilai gue jelek, ibu akan memanipulasi omongannya kepada orang-orang sehingga gue dikenal baik, padahal waktu itu nilai ulangan gue semuanya enam bahkan ada yang lima (kalau ingat itu sekarang gue pengin ketawa, ibu itu luar biasa). Karena faktor-faktor itu, jam terbang berpikir mandiri maupun interaksi gue terhadap orang luar itu bener-bener payah. Gue tumbuh menjadi anak pemalu, takut tatap mata orang, nggak pernah bisa memutuskan perkara sendirian, takut salah, takut dibentak, pendiam, sering berpikir negatif dan gugupan.

Ya, itu phobia sosial, right?

Dan ketika nilai gue nggak sampai untuk masuk ke SMP negeri lagi-lagi orangtua gue memakai caranya agar gue bisa masuk ke sekolah yang bonafit. Tapi sayangnya, gue nggak cocok bergaul dengan anak-anak yang lebih cerdas, aktif, percaya diri. Terlebih lagi jam pelajaran yang gila-gilaan, kalau ada pelajaran tambahan bahkan bisa pulang mahgrib. Gue kesulitan beradaptasi dan homesick, nggak bisa keluar rumah terlalu lama terutama ditempat dan dengan orang-orang yang nggak nyaman. Sejak itu gue jarang masuk, udah nggak peduli sama belajar, belajar sekeras apapun tetep aja tertinggal, gue pun terlalu takut untuk bilang nggak nyaman dan pembullyan di sana. Bentuk ungkapan penolakan gue adalah dengan cara susah dibangunin tiap mau berangkat sekolah.

Akhirnya orangtua gue paham dan gue dimasukkan ke SMP swasta menengah kebawah, dan di sanalah gue merasa diterima, disayang, banyak tertawa, gue bahkan jadi bendahara OSIS. Di sana kita sama-sama, nggak pandang di dompet kamu ada uang berapa, ranking kamu berapa, phobia sosial gue sedikit demi sedikit tergerus. Sekolah nggak lagi jadi tempat menakutkan.

Dan gue perjelas, gue nggak benci belajar, gue hanya benci sistem di sekolah dan mengecam pembullyan yang membuat mental seorang anak melamban tumbuh dan melemah.

Dan pertanyaan, apakah sekarang gue benar-benar sudah terbebas dari phobia sosial?

Kalau ditanya kayak gitu jujur gue nggak bisa memastikan. Sampai sekarang praktek yang memakan waktu bertahun-tahun itu masih terus gue jalani. Selama ini saat berinteraksi dengan seseorang, gue udah nggak begitu gugupan lagi, gue bisa membahas apapun yang gue ketahui dengan panjang lebar, bisa bercanda tapi lebih sering garingnya, homesick terjadi tergantung keadaan, dan gue mulai gampang beradaptasi di beberapa tempat.

Dari phobia sosial ada kemungkinan gue sekarang loncat ke introvert, bahkan ambivert yang bisa swich ke ekstrovert. Gue selalu senang untuk memahami diri sendiri, berkomunikasi pada pikiran sendiri, akan menjauh dari hal yang nggak baik dan mengancam perkembangan mental terutama hati, dan mendekat pada sesuatu yang nyaman, menghargai hal-hal baik yang datang.

PS: Gue nggak menyalahkan cara didik orangtua, orangtua gue udah sangat teramat sabar menghadapi anak manja yang tiap hari bisanya merengek, banting-banting barang kalau nggak dapat apa yang dia mau. Dan gue nggak menyalahkan siapapun, bahkan nggak ada penyesalan. Gue malah bersyukur menjadi phobia sosial waktu itu, bukan jadi anak begajulan yang susah dibilangin. Terima kasih kepada doa-doa orangtua yang selalu menyertai.

Gue ingin menyampaikan pada diri gue yang dulu, “Bie, semua orang itu baik, nggak perlu takut, senyumin aja. Kamu sekarang punya senyum yang bikin orang lain ikut tersenyum juga. Orang-orang yang bikin kamu nggak nyaman, cuma jadi penyebab hidup kamu yang bisa kamu ambil hikmahnya dengan banyak dan bijak. Berterima kasihlah meski kamu disakiti, kalau nggak disakiti, kamu nggak akan belajar. Mentalmu nggak akan berteriak untuk minta tolong, ‘selamatkan saya, Bie’.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)