KAPAN NIKAH? Mmm, kapan yah?


Sebenarnya tugas kuliah numpuk minta dikerjain. Kegelisahan tentang pertanyaan di atas yang membuat saya nggak tenang di meja makan tadi, menikmati rendang daging dan hati sapi tanpa fokus, tapi tetap ludes.

Setelah cerita tentang kakak terakhir saya yang mau nikah besok 16 April pada teman-teman, pertanyaan “KAPAN NIKAH?” pasti masuk juga ke telinga. Sebagai anak terakhir di keluarga, saya sudah siap mental, sayangnya belum siap jawaban. Maka mulai menyusun jawaban sesuai dengan sosok orang yang bertanya.

Semisal ditanya oleh pria tampan, soleh, bermobil dan intelek, “Bie, kamu kapan nikah?”
“Abang maunya kapan, eneng ikut ajah.”
Dan tiba-tiba pria tampan, soleh, bermobil dan intelek itu mengeluarkan surat undangan pernikahan dengan wanita lain.
“Tembak dengan senjata laras pendek aja mendingan, Bang.”

Ditanya sama gebetan yang udah punya pacar, “Bie, kamu kapan nikah?”
“Tergantung abang putusnya kapan.”
Kemudian pacarnya langsung teror saya.

Ditanya sama teman yang sering dengki sama saya, “Bie, kapan nikah? Udah berumur gitu.”
“Nanya kapan nikah mulu sih lo kayak mau kondangan aja!”
Sewaktu dipelaminan, dia templokin amplopnya ke muka saya.

Gimana kalau yang tanya perempuan?

“Bie, kapan nikah?”
“Kamu punya abang berapa?” Balik tanya dengan putus asa.
Ternyata dia anak cewek satu-satunya.
Tapi saya masih tetap usaha, “kamu punya sepupu yang masih single?”
Ternyata bapak ibunya juga anak tunggal.
“Kalau gitu, kamu ada temen yang masih single?”
Mengenaskan jika yang terjadi bapak ibunya anak tunggal, dia anak tunggal dan nggak punya temen karena introvert dan pemalu.
Saya pun bertanya balik dengan tatapan nanar, “terus lo sendiri kapan nikah?”
Selesai.

Ditanya sama teman yang kurang update kalau saya baru putus dua bulan, “Bie, kapan nikah?
“Eh, bentar, Presiden nelepon.”
Ternyata itu bunyi sms masuk dari operator kalau paket BB FUN IRIT kamu berhasil diaktifkan.

Ditanya sama teman yang kurang update bagian kedua, “Bie, kapan nikah sama yang ‘itu’?
“Oh, yang ‘itu’ lagi dinas di Urk, entah kapan pulangnya.”
Ceritanya dia nggak tahu kalau yang saya maksud itu Song Jongki.

Sementara ditanya sama teman yang udah update namun tetap reseh, “Bie, kapan nikah?”
“InsyaAllah abis wisuda.”
“Sama siapa?”
Saya nggak berpikir kalau pertanyaannya bakal berlanjut.
“Pasti ada.”
“Emang sama si ‘anu’ putus kenapa, sih?”
Saya nggak berpikir pertanyaannya bakal mencabut hati saya sampai ke akarnya.

Itu adalah sebagian contoh yang saya sendiri masih bingung dengan jawabannya, di saat saya belum dekat dengan siapapun atau belum ada rasa jatuh cinta dengan siapapun, terutama dalam masa penyembuhan itu sendiri.

Nggak perlu bertanya, bila sudah waktunya, orang itu akan menyebar undangannya, menyiarkan kebahagiaannya. Lantas kenapa harus repot bertanya padanya yang tidak pernah tahu ketetapan-NYA?

Nggak akan habis, setelah menikah pasti ada pertanyaan lain seperti, kapan punya anak? Setelah punya anak, kapan punya anak kedua? Setelah punya anak kedua, kapan punya rumah? Dan kapan kapan lainnya.

Teruntuk kamu yang suka bertanya kapan, kamu juga pasti korban atas pertanyaan ‘kapan’ tersebut bukan? Dan lingkaran pertanyaan tersebut nggak akan pernah usai.

Jawablah sesantai dan sejujur mungkin, bisa jadi setelah ditanya ‘kapan’, akan ada banyak doa baik yang meminta agar kamu segera dipertemukan oleh jodohmu.

Selamat untuk kakak saya yang sebentar lagi menikah dan sudah terhindar dari pertanyaan “kapan nikah?” Selamat!

Pesan: Saya percaya ketika saya menulis untuk membuat pembaca bahagia, saya mungkin akan dibahagiakan oleh orang lain yang bertujuan sama. Tertawalah apa adanya, bukan tertawa palsu untuk menunjukkan bila hidupmu sempurna, padahal sebaliknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)