Kutu Playgirl III



Dugaanku salah, Caesar telah mengubah kata ‘tamat’ diceritaku menjadi ‘bencana playgirl season 2’. Aku menemukannya hampir kehabisan napas di atap sekolah. Sungguh salut dia bisa terbebas dari pelarian maut. Dia pun berani membuka topeng kulitnya yang ketat beralih memakai topi hitam, menghalangi sinar mentari memantul ke kulit kepalanya supaya nggak merusak mataku.
“Kenapa lo biarin gue dikejar dia?”
“Apa etika minta perlindungan kayak gitu?” Balasku sambil duduk di sampingnya—bersandar di pagar pembatas. “Uang ternyata nggak sehebat itu.”
“Lo baru bilang gitu setelah gue kasih tunai, hah!”
“Kamu yang kenal dia aja nggak bisa hadapin. Aku serasa istri muda yang dikejar istri tua tauk! Ah …, maaf, tiap malam aku diajakin ibu nonton sinetron Anugerah Cinta.”
“Sebelum lo bisa tanganin dia, mungkin gue udah ketahuan duluan. Apa gue harus pindah ke Padang?” Gumamnya sambil merobek bungkus es krim corn.
“Ada waktu buat beli es krim?”
“Ini ngerampas dari anak kelas sepuluh, kok. Apa lo punya mantan yang kayak orang-yang-nggak-boleh-disebutin-namanya itu?”
“Nggak ada. Kamu tau kenapa? Karena aku putusin mereka secara baik-baik, empat mata.”
Caesar mendesah, “malangnya nasib gue.” 
“Yang harusnya bilang kayak gitu tuh aku.”
Aku memutar posisi dudukku dan mengalihkan pandangan sebal ke lapangan. Anak kelas sebelas sedang berlatih voli. Tatapanku berhenti di satu titik, Nino—kapten tim A. Dia dijuluki senyum sejuta volt, siapapun bisa pingsan melihatnya. Voli adalah hasratnya, sama seperti Caesar, dia berlatih sejak SMP. Bedanya Nino berkembang.
Ah …, pujian itu berlebihan, aku nggak tertarik sama sekali, rambutnya aja berdiri kayak rumput gitu.
Ditiap kondisi memandangnya, seolah aku terlempar ke masa lalu, mematahkan keakraban kami, mengecewakanku, membuat geli, seketika menjadikan kami seperti Mars dan Venus. Dua tahun berlalu dan aku setia mengingatnya, otakku mungkin sudah tercemar. Sejak dua tahun lalu, aku berhenti mengenal Nino. Tiap kali bertemu dengannya, aku berusaha bersikap angkuh biar nggak ada bukti playgirl tertarik atau tampak pernah akrab dengannya. Tapi aku gelisah, sikapku dengannya nggak lagi sesantai saat aku bersama Caesar.
“Nino!!”
Aku segera menoleh ke Caesar yang tiba-tiba memanggil orang yang nggak pengin lagi kudekati. “Kamu barusan ngapain?”
“Dia bereaksi, tuh.” Caesar menunjuk ke lapangan dengan dagunya.
Nino menyudahi meneguk air mineralnya begitu mendengar seruan Caesar dan tersenyum sambil melambaikan tangannya, seolah kami akan pergi menggunakan Titanic.
“Dia ceria banget.”
“Orang gila juga ceria,” sahutku galak.
Secara sengaja, aku menjitak Caesar karena berani memanggil orang itu. Dia menjerit dan mencengkram pagar besi, kukira otaknya lompat dari kepalanya. Belum sempat aku mengecek otaknya, musuh utama di Sailormoon tiba.
“Hah! Ketemu.” Kaena datang secara mengejutkan sambil berkacak pinggang terangah-engah, “tau-taunya lagi berduaan sama cowok.”
Ketika aku ingin menimpali ucapan Kaena, Caesar menghadap ke arah Kaena. Kaena terkejut hampir kehilangan pijakannya, begitupun aku. Tahu nggak? Demi menutupi wajahnya supaya nggak dikenali, Caesar melapisi kulit mukanya dengan es krim coklat.
Kaena berubah illfeel, “selera kamu aneh-aneh, ya, Lara.”
Heh! Sadar dong, dia itu Caesar! Kaena lagi menghina seleranya. Aku nggak tersinggung sedikitpun.
“Bagaimana rasanya kawin lari sama tuxedo bertopeng?” Ledekku.
“Apa maksud kamu suruh Justin pakai topeng? Kamu takut Justin kembali sama aku? Aku bakal temuin dia dengan cara aku. Setelah aku ketemu justin, aku pastiin kamu akan mimpi buruk.”
“Cukup. Aku nggak tahan lagi.” Aku berdiri gusar, mengagetkan Caesar dan Kaena. “Pasang telinga kamu baik-baik, Justin ada di—” Aku sengaja menggantungnya agar Caesar serasa menaiki wahana histeria dan menggila, “… kelas sebelas C.”
Aku mendengar hembusan napas lega dari Caesar. Bodohnya, aku memilih melindunginya. Kurasa belum waktunya dia menderita.
Tapi reaksi Kaena seperti sedang melihat gunung emas, “yang …, yang …, yang …, bener?” Kaena terharu, dia menunjukkan mimik buruk percampuran marah, rindu, dan bahagia. Sambil menangis, dia mencoba berbicara, “kenapa nggak bilang dari dulu?”
Biasanya orang yang cuek bakal jawab, ‘nggak nanya, sih’, tapi aku akan dianggap tuli kalau melupakan teror Kaena dari kemarin.
“Aku hampir putus asa,” Kaena sesegukan.
“Kelihatannya aku jahat banget.”
“Aku bakal ngadu ke Justin. Dia pasti marah besar kalau tahu aku dibuat hiburan sama kamu. Kita udah berikrar jadi cinta pertama dan terakhir. Sampai kamu datang dan merusak hubungan kita. Ini belum terlambat. Aku harus buka mata dia, supaya Justin nggak terperosok karena kamu.”
Sebesar itukah cintanya? Bukan aku penjahatnya tapi Caesar, teganya melantarkan Kaena, memutuskan hubungan hingga gadis itu mencarinya.
Kaena melejit dari pijakannya—mencari sosok yang nggak pernah dia temukan. Aku merenung, menyesal membohonginya.
Tiap kali berpacaran, aku meletakkan cintaku sebesar 20% saja. Jatah yang nggak ada apa-apanya dibandingkan cinta Kaena terhadap Caesar. Aku nggak pernah ngerasain jatuh cinta kayak gitu, meledak-ledak, secara terus terang, tanpa malu dan sesegera mungkin menjadi spesial di hatinya. Namun, cinta seperti Kaena yang aku takutkan. Cinta yang nggak terbalas.
Atap sekolah menghening seolah aku dan Caesar menunggu bus di halte, tanpa saling kenal. Aku ingin mendengar komentarnya.
“Apa kamu marah, ngeliat Kaena aku bohongin?”
“Nggak sama sekali.” Caesar menunduk. Apa itu bertanda sedih? Atau nggak enak hati.
“Liat Kaena kayak gitu kamu nggak kasihan?”
“Gue lebih kasihan sama diri sendiri,” jawabnya getir.
“Dasar egois. Jadi pemberani, dong. Muncul di hadapannya, jelasin dan putusin hubungan kalian secara empat mata. Pengecut pun suatu saat perlu tamatin urusannya dan jadi berani.”
“Biarin lo mikir gue egois atau pengecut. Buat apa gue jalanin percintaan yang udah tawar rasanya. Gue malu ketemu dia, itu yang pengecut lakuin kalo punya salah, kan? Nyerahin diri ke orang macam gitu, lo pasti bisa prediksi masa depan gue. Meskipun gue jelasin, dia nggak percaya, cari lagi, gali terus, dia nggak terima alasan apapun. Kalau lo pernah diasuh sama gorila. Dia pernah diasuh sama buaya.”
“Bohong, kalau alasannya pengin ketemu kamu doang. Memang apa istimewanya kamu? Jangan-jangan kamu ngehamilin dia,” tuduhku sembarangan.
“Hah! Apaan? Kita LDR-an, ketemuan cuma sekali itupun tiga jam.”
Aku pun duduk ke tempat semula, “Lagian, aku cuma bercanda. Tapi kalo itu benaran gimana?”
“Makanya jangan kebanyakan nonton sinetron!” Caesar menghela napas setelah teriakannya padam, “alasannya karena dia kesepian.”
Aku bergeming dan menatapnya, namun nggak bertahan lama karena kehangatan angin siang segera menerpa mataku.
“Emang gitu, kan? Orang yang kesepian tapi maksa pacaran, pasti bakal maksa pasangannya buat tanggung jawab sama kesepiannya,” lanjut Caesar datar.
Sekarang, aku sedikit memahaminya.

***

Aku pun nggak hidup tenang sewaktu baca buku di kelas, imajinasiku terserap kembali ke buku. Kaena mendobrak pintu ganda sebelah kanan, padahal yang kiri sudah terbuka. Kurasa dia sengaja mencari perhatian supaya para siswa tahu kedatangannya adalah ancaman. Dia menarik paksa seorang cowok ke hadapanku bersungut-sungut, seakan-akan tumbal.
“Jadi, dia Justin? Hah! Jelasin Lara!”
Apa bisa suaranya nggak melengking gitu? Kurasa dia adalah anak haram dari speaker dan harimau.
Aku menutup buku dan menatapnya polos, “tapi, namanya Justin, kan?”
“Apa? Dia nggak ada bagus-bagusnya meski dilihat dari sudut pandang manapun. Terutama sama orang yang punya silinder dua di kanan dan satu setengah di kiri.”
Cowok itu bertolak pinggang, tersinggung dengan hinaan Kaena. “Jadi begitu? Gue dijanjiin ketemu Lara cuma buat dijadiin bahan ejekan. Gue udah kenyang dihina setiap hari tapi mereka nggak pernah kasih solusi.” Dia meringis.
“Harusnya kamu berterima kasih nggak aku tuntut, besok ganti nama kamu.”  
Pengacara mana yang mau bantu dia? Percaya deh, kalau Kaena sih nggak mustahil.
Seketika cowok itu sumringah, “aku janji Lara, nggak akan kecewain kamu kalau cinta aku kamu terima suatu hari.” Dia mencuri kesempatan berkomunikasi denganku.
“Pergi kamu!” Usir Kaena sambil menenteng cowok itu keluar seperti kelinci, membanting pintu dan menerorku kembali. “Sekarang kamu mau bohong gimana lagi?”
“Sebenarnya, Justin suruh aku bungkam tentang keberadaannya. Aku dibayar tiga ratus ri—” Ah …, seharusnya aku nggak keceplosan ke masalah uang. Lantas aku segera berubah ceria, seolah-olah barusan aku nggak ngomong apa-apa, “gimana kalau kita bahas tentang adik aku yang blo’on aja?”
“Nggak mungkin!”
Astaga, teriakannya bikin aku bergidik.
“Kamu sengaja bikin berita palsu, supaya Justin tetap berada di sisi kamu, kan?”
Gimana mungkin ada orang senegatif itu? Ampun, deh
“Aku nggak pernah ketakutan ditinggalin cowok. Untuk keseratus tigapuluh tujuh kalinya aku bilang, Justin PHP bukan mantan aku. Justin punya alasan.” Aku menyesal mengeluarkan informasi tersebut dan segera menenggelamkan wajah ke buku, dia pasti nggak percaya lagi.
“Terus apa alasannya?”
“Justin bilang, dia merasa bersalah putusin kamu, dan akan temuin kamu diwaktu  tepat. Soal alasan perpisahan kalian kalau aku selingkuhannya, itu dusta besar. Dia gunain alasan itu untuk menghilang. Kasih dia waktu. Karena itu, berhenti cari Justin, dan buang-buang tenaga kamu!” Aku memukul meja. Penghuni kelas sudah lima kali mengelus dada karena kekagetan yang kami hidangkan. Ini kulakukan untuk menggertaknya. Bila cara halus nggak mempan, mungkin cara kasar bisa. Tiga ratus ribu nggak sepadan sama derita yang kualami, bodohnya, aku menerima tanpa memperhitungkannya dulu. Gimana kalau aku sakit jiwa coba?

***

Aku siswi terakhir yang melangkah keluar kelas. Tanpa informasi, aku ditarik seorang cowok ke belakang tangga. Kukira Caesar beralih profesi menjadi penculik. Aku hampir jantungan, segera kuhadiahi lemparan tasku ke wajahnya.
“Apaan, sih?”
“Rumor Justin nyebar ke kelas gue, ini bahaya. Untuk biaya tambahan, cuma dilakukan di rumah, tunai. Ngerti?”
“Hei, ini bukan masalah uang.”
“Uang memang bukan segalanya, tapi playgirl-pun tunduk sama uang.” Caesar tersenyum tipis sambil memegang bahuku, “gue mau ke pusat game online bareng teman-teman, tanganin orang-yang-nggak-boleh-disebut-namanya itu sampai hari kelulusan, ok?”
Caesar sudah berbalik pergi sebelum melihat mimik tersinggungku. Semuanya bisa dibeli dengan uang, ya? Coba kita lihat.
“Caesar!”
Caesar berbalik sambil melangkah mundur, “iya?”
“Kalau begitu, jam tujuh datang ke Street Food di Radio Dalam, bawa uangnya.”
“Itu sih gampang ….”
Lalu Caesar berbalik dan menganggap semuanya akan teratasi. Melihat Caesar merangkul temannya sambil tertawa, melimpahkan masalahnya padaku. Aku merasa dibodohi cowok idiot. Penderitaanku penderitaanmu. Penderitaanmu bukan penderitaanku juga. Mengerti!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)