Kutu Playgirl IV
Street
Food di Radio Dalam selalu ramai saat jam makan malam. Jadinya aku segera
menyerobot meja di samping pintu masuk begitu pelanggan pergi tanpa menunggu
meja dibersihkan dan pelayannya lelet setengah mati. Semua kulakukan demi
mengawasi Kaena sejarak lima belas meter dari mejaku.
Selepas
Caesar memercayakan masalahnya padaku di sekolah tadi, aku mengirim pesan pada
Kaena untuk kencan kejutan, bahwa aku akan mempertemukan mereka di tempat ini
dan aku sangat terkesima dengannya yang mendahului waktu janjian.
Sudah
lewat lima belas menit tapi pangerannya belum muncul. Semoga dia nggak mikir
aku kibulin lagi. Selama menunggu, aku banyak bersandar, main sosial media
dengan wifi gratisan, memesan air putih. Restoran yang redup bikin ngantuk,
ditambah alunan swing jazz. Sofanya
juga empuk. Aku panggil pelayan lagi deh, biar tegar. Tapi pelayan wanita itu
memandangku sinis. Kenapa? Ah …, meja untuk empat orang aku dudukin sendirian
dan cuma pesan air mineral. Tapi bukannya malah ringanin tugasnya? Soalnya
pesananku nggak merepotkan.
Nggak
mau malu lebih jauh, aku pesan latte,
padahal andalan di sini waffle ice cream.
Tapi makan di sini buang-buang uang, mami sudah masak makan malam buatku.
Lagian, tujuanku ke sini untuk membututi Kaena. Pelayan wanita itu langsung
pergi setelah mengingat pesananku.
Aku
berfirasat, sneaker yang muncul dari
pintu masuk adalah Caesar. Aku menutup sebagian wajah dengan syal sambil
melirik ke Kaena sampai menyadari pangeran berjaket kulitnya datang. Satu …, dua …, tiga ….
“Justinn!!”
Banyak
pelanggan tersedak akibat lengkingan Kaena. Orang yang terkantuk-kantuk
seketika sadar bila kenyataan lebih berisik dari alam mimpi. Sementara Caesar sebagai
pendatang baru di restoran ini tersentak dan bersiap melarikan diri. Namun terlambat,
Kaena sudah berlari ke arahnya, memeluknya seakan Teddy Bear-nya. Nggak ada celah bagi Caesar buat kabur atau minta
tolong. Kaena nggak bisa dilepasin, terlalu lengket di hatinya.
Dalam
kebingungannya dan rasa malunya ditonton banyak orang, Caesar mungkin
bertanya-tanya, bagaimana bisa Kaena di sini? Pertanyaannya terjawab saat dia
melihatku, aku melambai sedikit dengan senyuman jahil. Caesar melotot sambil
mengumpat pelan.
Namun
tiba-tiba Kaena kehilangan kendali. “Kamu jahat! Kamu jahat! Kamu jahat!!” Pukulan
bertubi-tubi dilepaskan ke perut one pack
Caesar. Seorang cewek boleh saja memukuli cowoknya kayak gitu, asalkan cowoknya
berisi busa dan kapuk.
“Time
out! Time out!” Caesar mengangkat tangannya.
Kaena
menghentikan pendaratan sikunya ke wajah Caesar yang memerah. Ini nggak baik
untuk ditonton, buruk buat mental anak kecil.
“Nanti
aku jelasin, jadi biarin, a-aku i-istirahat duluuhhh.” Caesar membungkuk
menahan sakit di perutnya, perutnya juga keroncongan, sempurna, sekarang dia
kesakitan dan lapar.
Kaena
tiba-tiba merasa khawatir, membuatku kehilangan fokus akan genre adegan ini
ini. “Muka, hidung, mata kamu? Pada lebam begini. Siapa pelakunya?”
Hah?
Ada
CCTV, puluhan pelanggan, pelayan, aku, dan korban. Biarlah mereka menjadi saksi
kegilaan Kaena. Satu yang kupercayai dari mulut Caesar, Kaena pernah diasuh
buaya.
***
Aku
nggak tahan lagi berada di restoran dan memilih pulang setelah menghabiskan
latte. Tugasku selesai saat mereka pesan menu dan Kaena yang traktir, mana mau
Caesar bayarin cewek ganas itu. Sementara aku hidup tenang dengan makan malam bersama
keluargaku. Aku berharap playgirl
sudah bukan lagi peran pembantu di adegan-adegan mereka. Kuharap ini menjadi
akhir masalah hidupku.
Satu jam berlalu
….
Tetanggaku
yang selalu pengecut, menggeser keras jendela berandanya hingga membuat fokusku
pada buku mandarin pecah. Adegan dia akan murka setelah kuusili memang sudah
kuprediksi, kaget sepertinya sudah bukan makananku.
“Lara!
Apa maksudnya? Gue suruh lo urusin dia, kenapa malah ngejebak gue dan biarin
gue babak belur? Seharusnya lo berjuang jauhin dia dari sisi gue. Ini bukan
game, gue nggak bisa nge-replay
tampilan fisik kembali normal.”
Aku
menoleh ke arah jendela yang menghubungkan pandanganku ke berandanya, terlalu
malas mendekatinya. “Sewaktu Kaena muncul, kamu pernah cemasin aku? Kerjasama
kita berakhir.”
Caesar
tertawa meledek, “jadi lo pikir pertemuan gue dan Kaena di restoran itu awal dari
ketenangan lo? Asal lo tau, gue kabur pas dia ke toilet. Besok dia pasti teror lo
lagi dan gue nggak akan masuk selama sebulan.”
Aku
tertawa melecehkan, “ini bukan zaman batu, Pak. Tinggal pencet nomernya,” aku mengambil
ponselku dan memperagakan selayaknya orang menelepon, “terus bilang, ‘Halo
Kaena, kamu tahu si Justin kuper tinggal di seberang aku? Apa? Kamu mau bantai
dia sekarang juga? Welcome, welcome’.”
Caesar
pun tergagap ngeri.
“Aku
kasih pilihan, hubungin dia lewat ponsel atau aku ngomong langsung di sekolah?”
Gampang
ditebak, wajah Caesar menegang, menelan ludahnya keras, nggak bisa membohongi
getaran kakinya. Namun, dia menegakkan bahu bungkuknya berlagak macho. “Nggak ada yang perlu
disembunyiin lagi. Itu bukan masalah besar. Gue bisa tanganin sendiri. Gue
bukan pengecut kayak lo kira.”
Aku
mengangkat sebelah alis, “beneran? Bisa bikin tidur kamu nyenyak?”
“Wah
…, gue bahkan bisa mimpiin Raisa malam ini. Chao!” Caesar menyudahinya, menutup
jendela gemetaran, lalu bersandar di jendela memunggungiku, mengais-ngais
kepalanya sampai tumbuh uban. Kenapa aku tahu gelagatnya meski jendelanya
ditutup? Itu karena dia lupa menutup tirainya. Aku lega, dia masih pengecut
kelas kakap.
***
Cahaya
matahari dari sela jendela menusuk mataku yang terbuka segaris. Aku berharap
memiliki kekuatan menghentikan waktu untuk menambah durasi tidur. Tapi mustahil,
kenyataannya jam wekerku justru membenciku. Sekarang pukul 06.44.
Hah
…, aku terlambat!
Aku
menggelinding dari ranjang sambil bergerutu, “kenapa, sih, jam weker selalu
kalah dari rasa malas aku?” Dan terjatuh dari ranjang dengan dengkul duluan
tapi bukan waktunya kesakitan. Aku berlari ke toilet, melewatkan sikat gigi, kesesi
cuci muka dan …, terpaku melihat wajahku di cermin. Aku sampai kehabisan
kata-kata, wajahku? Sejak kapan dikuasai bintik-bintik merah? Namun begitu pipiku
kuusap, bintik-bintik merahnya memudar dan aku penasaran bintik-bintik merah
ini dari apa? Terlebih perbuatan siapa. Aku terdiam sejenak dan akhirnya tahu
harus melampiaskan pada siapa.
“Dodiiii
….” Aku turun ke dapur hendak memangsa anak rusa.
Anak
itu masih bisa menikmati sarapannya di meja makan setelah mengerjaiku?
“Dodi!”
Anak
rusa itu terkejut dan melejit dari kursinya ke ruang tamu, lalu terpojok di
pintu utama yang terkunci beserta roti selai kacangnya yang baru digigit
ujungnya sedikit. “Aku disuruh Bang Caesar, Kak. Matiin alarm, tulis-tulis muka
Kakak pakai lipstik Mamih, curi ponsel Kakak. Kalau berhasil, aku dibayar
semilyar kak!” Ungkapnya histeris.
Aku
mendesah prihatin, bocah ini kenal uang juga. “Terus apa tujuannya?”
“Sayangnya
…, aku nggak dibayar buat itu,” dia kembali menggigit rotinya sambil bergaya
seperti orang yang sebentar lagi bisa membeli pulau.
Aku
mendesah lagi sambil mengusap wajahku, cacar buatan adikku luntur ke telapak
tanganku. Caesar segitu takutnya kalau aku membongkar identitasnya. Kalau dia
bisa sejauh ini, aku nggak mau kalah.
“Dek,
dengerin Kak Lara, yah. Kamu tuh dibohongin tauk, Caesar nggak punya uang
sebanyak itu.”
Dia
tercengang kemudian menepuk pipinya dengan kedua tangan, “apa?” Sementara aku
membiarkannya tenggelam dalam kebangkrutannya.
***
Demi
mengejar waktu, aku menelepon selingkuhanku untuk mengantarku ke sekolah secepat
yang dia bisa. Walaupun sudah ngebut, kita tetap telat sepuluh menit, ternyata
motornya nggak secepat yang dipamerkannya. Untungnya pak satpam masih
mentolerir keterlambatan kami. Dan sayangnya keberuntungan nggak berpihak sama
Caesar, soalnya dewi kematian sebentar lagi akan mencabut nyawanya.
Sesudah
berterima kasih kepada selingkuhanku, aku segera loncat dari motornya dan
berlari kecil menuju kelas Caesar sambil menyusun rencana. Aku berniat
melakukan perhitungan, memarahinya, lalu menariknya paksa ke pelukan Kaena, aku
lebih puas bila Kaena melakukan adegan seperti di restoran. Bukannya karena aku
fanatik pada kekerasan, melainkan Caesar pantas mendapatkannya.
“Lara,
kamu mau ke mana?”
Suara
yang familiar menghentikanku dan membuatku berbalik ketika hampir sampai di
kelas Caesar. Sial! Ternyata itu Pak Nara, dia datang dari mana, sih?
“Oh,
ya ampun, Pak. Saya kira kelasnya pindah,” dalihku polos pura-pura jadi siswi
amnesia, super nggak jelas.
Tapi
Pak Nara nggak mau pindahin tatapannya dari mukaku sampai dia dapat alasan
nggak terbantahkan. Aku pun yang akhirnya kalah dan menutupi wajahku dengan tas
sambil berlari menuju ke kelasku. Jadinya rencanaku untuk melabrak dan membawa
Caesar ke pelukan Kaena gagal.
Begitu
masuk ke kelas semua meja telah terisi, dan di sebelah mejaku …, sudah dijajah
Kaena. Lantai aku berjalan hati-hati menuju mejaku, nggak mau anggap dia ada,
tapi aku sesekali malah curi-curi pandang. Beruntung dia nggak langsung geprak
meja untuk mengiringi kehadiranku. Aku menyampirkan ranselku di kursi, duduk
perlahan seakan bangkuku terbuat dari stearofoam.
Di saat hal negatif menyerang pikiranku, dia justru nggak peduliin aku, justru menyimak
Pak Nara membacakan absen. Mungkin dia baru tahu Pak Nara guru yang enteng memberi
skorsing, bila dia bertindak gegabah, dia diliburkan dan sama saja nggak bisa
mencari Justin. Akalnya sungguh tertata.
Jadi
pusing, biasanya dia langsung cecar aku tanpa bosan. Sekarang aneh banget.
Apakah doaku
terkabul?
Tentang Kaena yang seketika kehilangan
pita suara.
Gara-gara
sifatnya yang labil, niatku ikut-ikutan plin-plan. Apa ini waktu tepat untuk
mengadu identitas justin? Ketika Kaena setenang ini. Haruskah aku mencari
masalah lagi?
Kaena
menulis rangkuman di bukunya, menunduk seakan sedang mengukir tiap kata. Aku
pun memilih bungkam juga, dan menulis tugas Pak Nara yang nggak ada habisnya.
Akan
tetapi …, aku mendengar isak tangis dari gadis di sebelahku, sesekali dia
menghisap lendir di hidungnya, airmatanya menetes ke bukunya, mengaburkan kalimatnya.
Aku luluh sekaligus berempati. Aku sering mendengarnya menangis, berbeda hari
ini, dia menangis dalam kesendirian dan kesunyian.
“Ada
apa?”
Kaena
menyumbat mulutnya dengan buku agar suaranya redam kemudian menjawabku, “kemarin
kita ketemu di restoran yang kamu bilang. Kita makan, tapi dia kelihatan cuek.
Nggak ada lagi rasa cinta di matanya. Aku kecewa dan lari ke toilet buat
nangis. Sewaktu kembali, dia menghilang.”
“Ini
bukan topik yang bisa dibahas sambil bisik-bisik. Aku akan ceritain semuanya
setelah ini. Siapa Justin, apa kebiasaannya, dan terpenting, alasannya
ngelakuin ini sama kamu.”
“Aku
nggak bisa teror kamu sekarang, aku kehilangan tenaga karena nggak sarapan.
Setelah kita ketemu, aku baru percaya kamu nggak PHP.”
Balasan
itu, entah mengapa membuatku tersenyum. Aku mengambil tisu dari saku supaya
matanya nggak sembab. Dia menolaknya, lebih memilih memakai sapu tangan
bermereknya. Setelah mengelap cairan mata dan hidung. Dia menyerahkannya
padaku. “Buangin dong!”
Meski
disakiti, dia tetap Kaena.
***
Aku
membelah dua rambutku dan mengikatnya, memakai topi coklat supaya nggak ada
yang tahu sewaktu aku jalan sama Kaena menuju lapangan indoor voli untuk membututi si pengecut itu. Aku mewanti-wanti takut
seseorang mengenaliku dan berteriak hingga terdengar ke telinga Caesar bahwa
aku sudah sembuh dari cacar amatiran dalam sejam. Bila pemain voli itu tahu
niatku, kaburlah dia entah ke mana.
Kami
duduk di kursi tribune paling belakang, menghindari fans tim voli yang sesekali
berteriak menambah kotoran telingaku. Hanya sedikit siswa yang menghabiskan
waktu istirahatnya untuk menonton latihan tim B—kemampuan mereka standar. Namun,
impian mereka melampaui standar—adalah mendapatkan posisi tim utama agar ikut pertandingan
voli antar sekolah.
“Itu
dia, nomer punggung tiga belas, Justin,” tunjukku ke lapangan, pantas saja
Kaena sulit menemukan Caesar, dia mengikat handuk kecil di kepalanya untuk
menutupi kegundulannya.
Kaena
membekap mulutnya, menangis lagi. Jika semua airmatanya dikumpulkan, mungkin
nggak sepadan dengan keringat Caesar bermain voli selama tiga tahun.
“Sebaiknya
kamu cepat ceritain, Lara.”
“Hemm
…, nama aslinya bukan Justin, tapi ‘Caesar Tidak Takut Pada Harimau’.”
“Ha?”
Kaena yang menangis sampai berhenti karena penasaran.
Aku
segera merevisi omonganku, “dia selalu pakai nama itu kalau ayahnya ancam buang
dia ke hutan tiap kali main game nggak kenal waktu. Tapi panggil aja dia
Caesar, siswa kelas sebelas F. Dia bukan siswa berprestasi. Nggak suka sayur
tapi bermimpi jadi atlet terbaik sedunia. Dia cepat tanggap kalau soal game.
Dia benci diremehin, dan benci nggak ada seorangpun yang bisa diandalkan. Dia
punya dua sahabat, aku dan …, satu lagi di tim voli utama. Alasannya menjauh
dari kamu karena bosan. Dia baru tahu tipe ceweknya setelah ketemu kamu. Yang
pasti, dia nggak suka cewek posesif. Kebetulan Caesar nggak bisa dikekang.”
Kaena
merenung, apakah dia terpukul? Ada apa denganku? Tiba-tiba terhanyut suasana.
Selain
menonton pertandingan, kami menguntit kehidupan Caesar seperti saat dia
berganti baju di ruang ganti, kami menyamar sebagai tukang bersih-bersih. Ketika
Caesar mengobrol dengan temannya, kami pura-pura tertarik pada mading. Caesar
ke toilet, kami …, kami …, kami …, menunggu di luar, tentu saja. Caesar makan
siang di taman, kami mengintip dari semak-semak.
Setiap
kali Caesar tertawa bersama teman-temannya, Kaena meremas roknya, mengulum bibirnya,
matanya berkaca-kaca dan beberapa kali berusaha memalingkan wajahnya. Baginya tawa
Caesar adalah penghinaan baginya.
“Aku
berasa kayak sampah. Memang, kita ketemuan di sosial media, dia bisa block aku kalau bosan. Tapi aku punya
perasaan, bisa sakit juga. Kalau di kehidupan nyata bikin frustasi, aku lari ke
dunia maya, saat yang tepat dia datang dan selalu bikin ketawa. Selang dua
bulan dia menghilang, aku kesepian, terus aku cari kebahagiaan di mana lagi?
Aku sempat kira dia mati. Makanya aku cari keberadaannya dan ketemu kamu. Wujud
nyata playgirl bikin aku yakin,
Caesar nggak mati tapi selingkuh. Dan balasan perjuangan aku cuma segini? Rasa
sayang malah disangka posesif.” Kaena menangis sesegukan.
“Kalau
di masa lalu kamu merasa depresi, di sini kamu bisa cari kebahagiaan. Yang
terbaik sekarang, berhenti berharap. Dapetin cowok yang cinta kamu seperti kamu
mencintai dia. Orang kayak Caesar manfaatin aja sampai mati, terus tinggalin.” Apa
kalimatku barusan sudah ‘super’? Sebenarnya aku mau bicara lebih panjang,
seperti, ‘sudah lupakan Caesar, aku akan buang dia, dan jadiin kamu sahabat
sejati’, atau ‘aku janji carikan kamu cowok. Tapi ada baiknya, kamu hukum
Caesar dulu demi melampiaskan kesakithatian kamu.”
“Lara!”
Seorang cowok menyeruku dari lapangan, aku menoleh dan menyahuti panggilannya.
Dia melambaikan tangan menyuruhku mendekatinya. Aku mengangguk. Perkenalkan dia
selingkuhanku yang kedua.
Jadi
aku hanya bilang pada Kaena, “kalau kamu diganggu, panggil aku aja. Aku bantu
kapanpun kamu butuh.” Lalu aku meninggalkan Kaena, menghampiri kepentinganku.
“Lara!”
Panggil Kaena dan aku berbalik sambil melangkah mundur perlahan. “Aku kayaknya
bisa lupain Justin, maksudnya …, Caesar.”
Aku
senang mendengarnya bangkit.
Kaena
pun tersenyum, komposisi antara manisnya gigi gingsul dan menyeringai agak
janggal. Atau itulah alasannya jarang tersenyum, karena senyumannya aneh. Itu
pertama kalinya aku melihat Kaena tersenyum, entah mengapa, aku punya firasat
buruk tentang masa depanku.
Komentar
Posting Komentar