Kutu Playgirl VI






Aku tergesa-gesa turun dari mobil antar-jemput yang difasilitasi keluargaku. Dari gerbang sekolah, aku membungkuk mencari jurnalku—yang kemungkinannya entah berapa persen terjatuh di jalan. Aku berharap apa? Pastilah sudah dibersihkan, dibuang ke tong sampah, kemudian dibakar. Akan tetapi, jurnalku bisa saja dilaporkan ke ruang guru, kemudian eksekusiku segera dilaksanakan.
Aku nggak boleh bernapas lega dulu, nggak berani jamin jurnalku aman disuatu tempat, nggak mungkin juga aku bikin sayembara. Bisa saja berita tiba-tiba meledak, seketika mantan-mantanku membenciku. Aku berusaha mencium, menguping informasi keburukanku di sekitar sekolah. Semua aman. Nggak ada seringai, atau respon negatif. Mereka wajar, seperti pagi biasanya. Mereka menyapaku ramah. Jangan-jangan jurnalku justru membawa dampak positif? Aku sudah gila karena imajinasiku sendiri. Semoga jurnalku ditemukan orang baik, supaya nggak ada niat jahat atau ancaman.
Bola voli menubruk pagar kawat pembatas lapangan sehingga berbunyi seperti seng di tendang. Aku—tengah melamun di dekatnya hampir terjungkal. Pelempar bola itu tekekeh di lapangan outdoor. Dia pikir kagetin orang itu lucu? Ini waktunya tendang tulang keringnya. Itu juga lucu, nggak?
“Dia mati sebentar lagi, mati,” gerutuku. Aku menghampirinya dan pertandingan latihan dihentikan karena si pelaku (Nino) meminta waktu istirahat.
Nino terkekeh sambil mengangkat kedua tangannya mengakui, “yang tadi itu sengaja, kok.”
“Jangan-jangan kamu, ya?” Selidikku.
“Apa?” Nino mengerenyit.
“Yang curi jurnal playgirl.”
“Apaan tuh jurnal playgirl? Ada yang kayak gitu juga? Nyuri? Itu jelas penghinaan. Terlebih lagi sama orang yang lo tinggalin di stadion basket bareng tukang bersih-bersih. Dan apa gue marah? Sedikit.”
“Mau ubah topik dari pencuri ke pengkhianatan? Dari awal aku nggak setuju kamu ikut dan ganggu kencan aku sama Maxi. Gangguin orang kencan itu kebiasaan kamu, ya? Gimana kalau kamu diposisi aku?”
“Kenal sehari terlalu cepat buat kencan, apa cara playgirl dapetin cowok kayak gitu?”
“Iya, kayak gitu yang tertulis dijurnal. Mau mengelak gimana lagi?”
Aku nggak takut meski Nino pelakunya. Aku berani, kalau musuhku dia.
“Hidup lo nggak berjalan kayak gini terus, nggak semua keinginan terwujud. Dan juga, liat gue, nggak semua cowok tertarik sama lo.”
“Kamu sumpahin aku? Nggak ngefek. Selama ini aku dikelilingi keberuntungan. Kalau nggak mau serahin jurnal itu, aku cari dengan cara aku. Kalau benar kamu pelakunya, tunggu balasannya!”
Aku berbalik beranjak pergi.
“Kayaknya …, Lara nggak seserem itu deh. Apa jurnal itu segitu pengaruhnya sama playgirl? Apa ada rahasia di sana? Apa itu kelemahan playgirl?”
Aku membatu, kemudian berbalik ke arahnya sambil menyamarkan kebenarannya, “ikh ….” Nino pintar memancing emosiku, dia bahagia bila amarahku memakan umpannya. Bagaimana dia bisa diciptakan sesantai itu? Terpampang jelas dia pelakunya. “Kamu mau tahu kelemahan playgirl?” Aku mengisyaratkannya mendekat dengan jari telunjukku. Perlahan, dia menipiskan jarak hingga wajah kami sebatas sejengkal dan aku berbisik, “kalau semua cowok di dunia ini musnah.”

***

Aku mendesah, terduduk lemah di kursi kelas. Bahkan di sekitar mejaku nggak ada. Satu-satunya harapanku. Bagaimana bisa aku seceroboh ini? Waktu itu apa yang kupikirkan? Tentu saja cowok. Bikin pusing saja.
“Lara.”
“Apa?”
Aku menoleh ke suara cempreng setengah melamun—tanpa waspada. Pandanganku terhenti pada benda yang dipeluknya, napasku tercekat dramatis dan segera berdiri, merampas sesosok jurnal dari tangannya. Kemudian aku membolak-baliknya, ini ilusi atau kenyataan? Kovernya persis sekali. Untuk membuktikan kewarasanku, aku membukanya, catatan ini, aroma penaku ditiap kalimatnya. Ini wujud sempurna dari jurnalku.
“Kamu nemu di mana?” Tanyaku tanpa melihat Kaena, terfokus pada jurnal.
“Jurnal itu jatuh sewaktu kamu terburu-buru beres-beres barang ke tas. Pas aku mau panggil, kamu udah keluar.”
Ah …, kemarin, ya? Seharusnya aku nggak senafsu itu ketemu Caesar, cuma buat kasih info orang-yang-nggak-boleh-dipikirin nggak lagi nyari-nyari dia. Tuduhanku sama Nino jadi salah kaprah. Apa aku perlu minta maaf? Ngerepotin aja, mana punya muka. Memang dari awal kita nggak pernah akur, kok.
Aku menatap Kaena curiga, sambil mendekap jurnalku, “pasti kamu baca isinya, ya?”
Kaena terkejut dan menggeleng cepat demi meyakinkanku, “aku nggak baca satu katapun, kok. Mana boleh lihat barang orang tanpa izin. Aku tahu, itu buku harian, kan? Aku juga punya, pasti rasanya malu banget kalau ada yang baca. Karena itu, aku nggak berani buka satu halamanpun.”
“Kaena.”
“Iya.”
“Terima kasih.”
“Ah …, nggak perlu, kamu cukup jaga milik kamu baik-baik.”
Peringatan itu terdengar tajam, memukul wajah keceriaanku berubah bentuk menjadi kecurigaan. Kata-kata yang memiliki dua makna. Entah kebaikan, keburukan. Kaena tersenyum. Aku benci senyumnya. Tapi aku nggak berani tegur, takut merusak keceriaannya. Bagaimana bila setelah kukritik, dia akan cemberut sepanjang hidupnya?
Pak Nara—guru yang nggak pernah absen sepanjang hidupnya, masuk. Setelah menyapa para siswa, dia selalu menuliskan soal di papan tulis. Menurutnya, otak siswa harus segera digunakan setelah bel berbunyi, karena pikirannya masih segar. Nggak ada salahnya. Terlebih untuk siswa yang kelupaan mengerjakan pekerjaan rumah karena terlalu fokus pada jurnalnya. Itu bukan pengalamanku, tapi pengalamannya temannya teman sepupu tetanggaku, sih.
Aku jarang berinteraksi dengan Kaena setelah perubahannya. Tapi sekarang dia jadi sering menatapku penuh arti. Aku hendak bertanya, tapi seperti biasa wabah ‘berpikir macam-macam’ menginvasi otakku duluan. Jangan-jangan dia minta upah? Dia kan lebih kaya dariku. Mengambil hak kaum dibawah derajatnya namanya keterlaluan.
“Kerjain soalnya.”
“Iya.”
“Kamu mau salin punya aku? Belum tentu juga dapat nilai sempurna.”
“Iya.”
‘Iya’ dalam artian setuju atau memang dia percaya aku nggak intelek. Aku memang punya semacam magnet ketertarikan, tapi aku baru tahu kalau magnetku mampu memikat seorang gadis juga. Merepotkan saja, magnetku ini.
“Kamu bisa lebih perhatian ke papan tulis, kan?” Pintaku hati-hati.
“Oh …, maaf kalau kamu terganggu. Tapi akan lebih baik kalau posisi kita ditukar.”
Ditukar? Aku mengerenyit lagi. Kita berada satu meja dan dia mau tukar posisi? Janggal. Firasatku mengerikan. Tadi aku sarapan apa, sih? Hariku negatif amat. Oh …, iya, aku nggak makan.
Aku mengalihkan pandangan ke buku. Bertingkah dingin. Menjadi diam atau cerewet, dia selalu bikin risih. Tanpa sadar aku berharap, semoga dia menghilang dari hadapanku.

***

Istirahat membuat para siswa bagai lebah yang keluar dari sarangnya mencari makan. Akibat trauma, aku membawa tas yang berisi jurnalku ke mana-mana. Banyak yang mengira aku berencana membolos atau aku harus izin karena sakit setelah bersemedi selama dua jam pelajaran Pak Nara. Praduga terakhir, rada betul, sih.
Selain perutku, mataku pun kelaparan, aku menyimak Kaena di lapangan, keceriaannya memancar, menyilaukan mata rabunku, dia nggak berhenti tertawa bersama seorang cowok. Memang dia berjanji melupakan Caesar, tapi untuk monster seperti Kaena, ini kemajuan pesat. Dengan mudah dia bergaul dengan cowok lain. Apa aku harus memperingati cowok itu sebelum nasibnya serupa si pengecut? Ah …, sejak kapan hobiku ngurusin hidup orang?
Tunggu sebentar.
Muka cowok itu nggak asing. Aku segera mengeceknya di jurnal.
Cocok!
Dari ciri-ciri yang kutuliskan beserta fotonya. Dia mantan pertamaku. Ini kesengajaan atau kebetulan? Kaena mendekati mantanku. Terserah Kaena menyukainya. Yang batinku perdebatkan adalah, benarkah Kaena belum membaca jurnalku?
“Lara!” Maxi menyeruku dari ujung koridor.
Aku melihat Maxi sekilas, lantas kembali ke Kaena.
“Lara!!” Kali ini Maxi seperti memanggil taksi.
Sedangkan aku masih berkomunikasi dengan pikiranku. Mustahil Kaena hapal semua mantanku, kan? Aku nggak boleh ceroboh lagi. Nggak cuma pintu, aku berniat beliin kunci buat jurnalku, bukan, alat pelacak lebih baik. Jangan-jangan bukan Kaena saja yang sudah membacanya, mereka juga, mereka? mereka? Aku menelisik tiap-tiap raut siswi yang berpapasan denganku. Mereka nggak boleh mencuri risetku! Kalau memang menjadi mata-mata adalah pekerjaan terbaik, akan kulakukan tanpa digaji.
“Ayo ….” Seseorang menarik lenganku nggak sabaran. Siapa? Oh …, Maxi.

***

Aku dan Maxi memesan bistik begitu sampai di cafe dekat sekolah. Ada beberapa siswa dari sekolahku yang menjadi pelanggan, salah satunya gebetan-gebetanku yang tertunda. Mereka menatap Maxi bengis sambil memasukkan sesendok nasi goreng kambing ke mulutnya, seolah sedang menyantap Maxi goreng kremes.
“Tadi pagi aku ketemu teman kamu di gang sekolah. Kita saling kenalan,” tutur Maxi.
“Teman aku yang mana?”
“Dia bilang namanya Kaena.”
Sekali lagi kejanggalan mampir terang-terangan, “kalau ketemu dia lagi abaikan aja.”
“Alasannya?” Maxi menukikkan sebelah alisnya.
Pertanyaan paling malas kujawab di dunia. Aku berdehem, menutupi tegang, mencari kebohongan logis. Berbohong sungguh sulit dilakukan. “Karena Kaena punya penyakit menular.”
“Penyakit apa?”
Aku kelagapan. Kenapa dia menanggapinya serius? Santai saja. Aku melirik ke kanan-kiri, berpikir dan mendapatkan jawaban, “pro …, tosilisiasi recretus paranorusos.” Aku lega mampu mengarang nama penyakit begitu intelek.
Maxi mengerenyit, “selama aku jadi ketua PMR dan banyak baca buku tentang kedokteran, aku nggak pernah nemuin penyakit kayak gitu.”
“I-ini penyakit baru. Dicari di wikipedia pun belum ada. Penyebabnya karena dipatuk ayam jago berjenis omnivora. Awalnya bengkak, gatal-gatal, terus mati mendadak. Sepuluh dokter sampai nyerah tanganin Kaena.” Setelah itu aku tertunduk, diam, malu, dan kagum bisa membual sebanyak itu.
“Aku nggak percaya.”
Aku menegapkan kepalaku, “ha?”
“Tapi kalau alasannya cemburu, baru aku percaya. Itu bisa diterima dan masuk akal.”
“Ha?” Kebingunganku kuubah menjadi senyum, Maxi yang pemalu ternyata lebih narsis dari adikku.
Seperti kenarsisan Maxi, aku menjawab demi menyenangkannya, “Iya, aku cemburu.” Akhirnya aku mengakui hal yang nggak ingin.
Aku mimpi buruk di kehidupan nyata, Kaena menjadi yang seperti kutakutkan, kami bertukar posisi, keinginanku nggak lagi mutlak seperti perkataan Nino.

Ini hanya dugaan. Tapi dugaan itu justru menghantuiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)