Kutu Playgirl V


Caesar mengaduk tasnya—mencari sesuatu. Kelas sebelas F dikuasai suara tumpahan isi tasnya dan kepanikannya, sudah pengecut juga pikun, lengkap! Sementara kedua temannya menunggu di belakangnya. Aku mencolek bahu kedua temannya, mengisyaratkan pergi, menyisakan aku dan Caesar. Fokus Caesar pada benda yang dicarinya, memusnahkan kewaspadaannya padaku yang berada di belakangnya.
“Nggak ada, bro,” jelas Caesar sambil berbalik kecewa. “Kayaknya ketinggalan di—” dia menggantungkan kalimatnya begitu melihatku.
Taraaa …, aku memberikan senyum terbaikku. Dia tersentak seakan aku hantu, “a-a-ada sembilan koyo di punggung gue. Lo mau genapin jadi sepuluh?”
Dia percaya banget kalau pukulanku bakal bikin tubuhnya memar. Aku suka bersilat lidah tanpa campur kekerasan seperti mantannya itu!
“Kamu bebas sekarang.”
“Itu kalimat buat orang yang keluar dari penjara, kan?”
“Iya, kamu memang keluar dari penjara. Aku udah bongkar identitas kamu ke Kaena.”
“Itu namanya mau dihukum mati!”
“Aku kasih dia beberapa nasihat super buat ngejauhin kamu, dan dia mudah terpengaruh. Aku nggak nyangka akhir percintaan kamu kayak gitu, sederhana.”
“Ini balasan setelah gue ngerjain lo, kan?”
“Berhenti curiganya deh.”
Caesar meneliti wajahku, mengangkat bola matanya ke atas, memilih percaya ataukah tetap waspada, “jadi yang lo maksud ‘bebas’ dalam artian sesungguhnya bukan sarkasme?”
Aku mengangguk keki.
Caesar terbahak dan loncat dari kursinya seperti baru bangun tidur dan bangkit dari mimpi buruk. “Gue terbebas dari buaya. Iyeesss!! Yippieee!” Padahal lima belas detik lalu dia memelas pada nasibnya.
“Seharusnya kamu ngelakuin itu kalau cinta kamu diterima sama cewek, dasar aneh.”
“Kalau lagi seneng mana bisa ngontrol diri.”
“Sebagai gantinya, kenalin aku sama teman kamu.”
Caesar menghentikan euforianya dan mulai memilah teman-temannya dalam benaknya yang pantas disandingkan denganku, “mana mungkin gue lupa. Gue nemu yang tepat buat lo, namanya Maxi dia dari sekolah sebelah dan banyak yang bilang kalau kita kembar.”
“Kembaran kamu? Nggak jadi minta dicomblangin, pakai duit aja deh.”
Caesar berubah kesal, “apa yang salah dari muka gue? Nggak ada komedo sama jerawat, berminyak kadang-kadang.”
“Aku bilang duit aja.”
“Liat dulu, tuh,” tunjuk Caesar ke luar jendela kelas.
Seorang cowok yang Caesar maksud mengobrol bersama teman-temannya di parkiran, alisnya tebal, bibirnya merah jambu, sulit mendeskripsikannya di saat aku merona. Sepertinya aku akan mendahulukannya dibandingkan gebetanku yang lain.
“Dia tadinya rival gue tanding game, sekarang jadi akrab. Dia jadi rebutan di sekolahnya, orangnya kadang plin-plan dan banyak milih, terus paling anti liat temannya susah, gue juga berhutang kenalin lo ke dia.”
“Apa aku sebegitu terkenalnya? Sampai cowok sekolah lain kenal aku.”
Caesar memble.
“Kalau cocok, aku kasih dia prioritas. Lupain soal balas dendam, mari kita berteman lagi Caesar.” Aku mengulurkan tanganku. Caesar menjabatnya. Deal!
“Tapi, gimana caranya lo bisa masuk sekolah?”
“Bayar dulu upah Dodi, baru aku kasih tahu.”
“Itu kan cuma tipuan.”
“Tapi kakaknya nggak bisa ditipu.”

***

Ketika aku keluar gerbang sekolah, seorang cowok kenalan Caesar—turun dari mobilnya dan tersenyum padaku. Dan seorang lainnya duduk di kursi sebelah kemudi melambaikan tangan padaku. Aku menunda senyumku, biar kuperjelas pandanganku ke orang tersebut, dia …, si resek Nino?
“Lara.” Siswa bernama Maxi itu membukakan pintu belakang untukku. Kenapa nggak Nino saja yang duduk di belakang, sih?
“Gue denger Maxi mau nonton basket, jadinya gue ikut. Nggak ganggu, kan?” Nino merebahkan kepalanya seolah nggak berdosa. Yang lebih parah dia nggak sadar sudah ganggu.
Aku diam dan masuk. Nuansa hatiku hancur karena ada si resek. Atau aku bersikap lebih tegas saja? Menolak pergi dan mengancam Maxi bila kehadiran Nino membuatku illfeel padanya. Atau aku cekek saja leher Nino dengan gesper. Apa yang kupikirkan? Aku juga pakai menyeringai segala, psyco.
Maxi mengemudikan mobilnya, senyumnya mengembang ke Nino seolah berkata, ‘bagus Nino, buka topik di antara kami.’ Ada dua kemungkinan dia mengajak Nino; pertama, dia butuh seseorang mendorong mobilnya saat mogok. Kedua, dia nggak percaya diri jalan berduaan sama aku, sehingga dia ajak pengganggu sebagai perantara obrolan canggungnya, sayangnya dia memilih Nino. Aku akan memaklumi, asalkan Nino di tempatkan di bagasi dan berhenti mengoceh.
“Waktu SMP, gue bikin pilihan rumit, basket atau voli. Basket terlalu banyak saingan, gue pun pilih voli meski badan gue sering sakit kena bola, tantangannya justru di situ, gue akhirnya dapatin posisi terbaik. Tapi, gue juga nggak bisa lepas dari basket, nggak pernah bisa lewatin pertandingan basket. Seolah-olah para pemainnya nyuruh gue mengharumkan nama bangsa ini.”
Nino mendominasi obrolan, nggak ada sela buatku. Maxi malah menjadi pendengar yang baik, nggak punya niatan sepertiku—menghentikan mobil di minimarket, membeli lak ban, plester mulutnya. Setelah bercerita, kemudian Nino melawak. Tawanya membuatku sakit kepala. Aku memijat pelipisku.
“Kamu nggak apa-apa, Lara?” Maxi berkomunikasi lewat spion dalam padaku.
“Ha?” Aku terkesiap. “Nggak, aku baik-baik aja, kok. Aku cuma merasa oksigen di sini kurang bagus,” ungkapku sambil melirik sensi ke arah Nino lewat spion dalam.
Nino membuang muka dan tersenyum jahil.
“Oh, maaf suhunya kurang dingin, yah?” Maxi hendak menurunkan suhu AC mobilnya.
“Eh, nggak, nggak perlu kok Maxi. Aku cuma mau kasih tahu soal Nino, ada satu bakat yang dia tutupi, Nino itu jago banget main monopoli. Waktu SMP dia dilema, mau masuk ke voli atau kembangin permainan monopoli. Yang benar begitu, kan?”
“Yaaa, gitu deh. Gue itu emang berbakat dalam bidang apapun. Apapun yang gue sentuh, bisa gue kuasain.”
“Tapinya kamu cuma bisa kalahin Caesar di monopoli. Siapapun bisa kalahin dia. Standar kemampuan kamu cuma segitu, menang dari Caesar belum masuk taraf olimpiade.”
“Jangan remehin Caesar, dia itu orang tergigih yang pernah gue kenal.”
“Tergigih kabur dari tanggung jawabnya, gitu?”
“Ah …,” Nino menjentikkan jarinya, “karena dia selalu minta bantuan playgirl. Gue tahu perasaan lo, pasti susah tanganin orang-yang-nggak-boleh-disebutin-namanya itu, kan?”
Dasar Caesar bocor! Ngapain pakai cerita tentang Kaena segala ke Nino.
“Diminta bantuan sama laki-laki, bukannya itu hebat, berarti kemampuan dan keberanian aku melampaui dia.”
“Kapan punya sifat gampang dimanfaatin itu hebat?”
“Ngapain sih kamu belain dia? Hah!”
Bantingan setir Maxi membuat kami terguncang sedikit ke kiri, diiringi klakson truk. Jantungku berdebar kuat. Barusan mobilnya hampir tabrakan dengan truk? Kurasa Maxi pusing dan kehilangan fokus karena adu mulut kami. Beruntung Maxi sigap, sehingga kami selamat dari maut.
Setelah kejadian itu kami bungkam. Wajah kami pucat. Dihantui kematian. Mungkin selain Maxi, malaikat maut juga nggak suka perdebatan kami.

***

Pertandingan basket sudah dimulai sepuluh menit lalu, dan kami tenggelam dalam lautan penonton. Yang bikin aku nggak ngerti, Nino duduk di antara aku dan Maxi, menghalang pendekatanku pada Maxi, menjadi tembok Berlin pemisah keakraban kami, menjadi penjaga jarak. Kulihat Maxi pun keberatan. Namun, Nino nggak peduli, menyimak pemain favoritnya seperti di dunianya sendiri.
“Sebelum pertandingan berjalan jauh, ada baiknya lo beliin kita makanan,” perintah Nino tetap memandang ke lapangan.
Kami terdiam setelahnya. Dan Nino menoleh padaku. Aku balas menatapnya. Jadi dia suruh aku? Sembarangan!
“Emang aku pelayan kamu?”
“Terus siapa yang pernah bilang kalau lo pantes jadi playgirl?”
Kalimat itu berjalan mulus di lidahnya, nggak mikir aku akan tersinggung. Mulut ketusnya membuatku muak, aku berdiri meluapkan semuanya, “kamu emang pantas jadi cowok populer? Apa yang bisa dibanggain dari kamu? Raja resek, jadi sasaran nuklir aja sana!”
Radius dua meter di sekitarku menghening, mereka jadi tahu aku mudah marah. Aku nggak pernah bisa tahan amarahku kalau berdebat sama Nino. Selalu begitu. Untuk kesekian kalinya. Nino perusak segalanya. Aku membencinya sampai mati. Aku nggak tahan dengan kondisi ini dan pergi.
“Lara, tunggu!” Maxi mampu meraih tanganku ketika di pintu keluar, begitu erat, aku nggak bisa lepasin, tangannya begitu keras dan sulit dipatahkan. “Jangan pergi gitu aja, mulutnya emang ketus. Kadang-kadang teman-teman juga benci kelakuannya tapi nggak pernah diambil hati.”
“Aku tahu, aku udah kenal dia dari SMP, tapi yang tadi itu keterlaluan.”
“Salah aku ngajak dia ke acara kita. Kamu nggak perlu menjauh dari aku, merasa aku bakal berubah benci pas lihat kamu marah-marah. Aku nggak pernah pandang kamu buruk. Kata orang, kalau playgirl mau diajak jalan berarti dia tertarik sama cowok itu. Meski cowok kamu nggak kehitung jumlahnya. Aku selalu anggap itu masa lalu. Masa depan kamu sama aku. Aku bakalan ubah kamu jadi cewek setia.”
Maxi cowok pemalu yang agresif, tanpa persetujuan, menggenggam tanganku, menatapku penuh cinta yang nggak mungkin membusuk. Oh …, indahnya cinta saat bersemi.
Aku tersenyum tipis, menghargai keberaniannya, padahal baru beberapa menit jalan bersamaku, mungkin dia tipe yang gampang jatuh cinta. Sebelumnya, Caesar pernah bilang, Maxi mencintaiku pada pandangan pertama. Aku jadi ragu menolaknya. Namun, apakah ada buku dengan kalimat seperti itu? Karena sudah dua puluh lebih cowok mengatakannya.
Keromantisan seorang cowok bukanlah ukuran lamanya hubungan kami. Contohnya, mantanku ke-25—yang pernah berbicara serupa, baru dua hari jadian, aku memutuskannya. Sebabnya, dia selalu mengirim foto narsisnya ke ponselku, membuat kartu memorinya kembung. Tujuannya, agar aku selalu mengingatnya dan nggak pernah kelaparan cinta sehingga berpaling darinya. Itu membuatku ingin bunuh diri saja karena jijik.
Adikku melihat semua foto mantanku itu lalu menyuruhku mencetaknya, katanya dia akan membuka ladang bisnis baru, yaitu menjual foto-foto itu ke seniornya yang genit-genit. Foto itu tersebar, dan sampai ke mata seorang sutradara, jadilah mantanku bintang iklan krim jerawat. Tiap kali melihat iklan mantanku, adikku membangga-banggakan dirinya, bila dia mampu menemukan bintang.
“Aku maafin, tapi aku udah nggak mood nonton basket. Ada tempat lain?”
“Tentu aja ada.”

***

“Jangan lupa matiin lampunya.”
“Iya, Mih.”
Salah satu peraturan di rumah kami yaitu mematikan lampu pada pukul sepuluh malam demi menghemat. Bila melanggar, adikku akan berpatroli dan memperingatkanku. Kalau aku nggak patuh, dia melapor ke ayah. Adikku perhatian banget, sebentar, aku lagi coba berpikir sepositif mungkin tentangnya.
Sambil bersenandung, aku mengaduk tasku untuk mencari jurnal playgirl yang selalu kubawa. Waktuku tersisa tiga puluh menit sebelum lampu dimatikan untuk mengisi Maxi di jurnalku, biodatanya, sikapnya, kritikanku tentangnya, harus terperinci dituliskan, berjaga-jaga sebelum lupa. Tapi jurnalku …, lenyap! Jantungku seketika berdebar keras, kumuntahkan isi tasku di ranjang. Mencari teliti di tiap-tiap buku paket, tetap nggak ada. Bahkan, ditiap laci meja belajar, rak buku, kolong tempat tidur, dan juga lemari pakaian. Nihil.
Aku kelagapan, kekurangan pasokan oksigen. Aku berencana mencari di kamar orangtua dan adikku, tapi kuurungkan, mereka nggak tahu wujud jurnalku. Nggak ada seorangpun yang tahu.
Bila ada yang melihatku membuka jurnal di kelas, aku segera berdalih itu hanya jurnal biasa mengandung jadwal membosankan. Aku banyak bertanya-tanya, bagaimana kalau jurnalku tertinggal di mobil Maxi? Kemudian dia membacanya. Atau murni tertinggal di sekolah dan seseorang yang dengki padaku membacanya? Menyebarkannya, mengancurkan hidupku. Bagaimana bisa aku membuat ‘sesuatu’ yang kelak akan menjadi kelemahanku? Aku pasrah sambil bersandar di pintu.
“Siapa aja, kubur aku ….”
Gemuruh sorakan. Lemparan penistaan. Aku berada di tengah situasi mengerikan. Aku dan seseorang memeluk jurnalku. Tersenyum licik. Dia punya rencana. Aku nggak berdaya. Ketakutan. Nggak ada penolong. Nggak mungkin aku sepengecut itu. Dan mustahil nggak ada seorangpun yang membantuku. Ke mana balas budi mereka? Aku …, tampak …, mengenaskan untuk ditonton.
“A-ap-apa salah aku?”
“Selamat tinggal, Lara!” Vokal seorang gadis nggak asing, memantik korek api dan mengarahkannya padaku, berniat membakarku.
Aku menjerit-jerit, menghindar, mataku terbuka, terengah-engah seperti habis dikejar pembunuh. Aku masih bersandar di pintu. Lampu di kamarku masih menyala. Ini tengah malam.
Aku …, mimpi buruk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)