Teddy Bear dan Sekotak Coklat
Ia selalu menunggu di tempat yang sama. Di detik yang berlalu tanpa ia tahu. Di cuaca yang tak menentu dengan tampak yang agak kusam. 14 Februari hari di mana kesepian menjadi kesenangan. Kerinduan menjadi kecanduan. Dan permohonan menjadi perwujudan.
Ia hanyalah
sebatang coklat tua yang periang namun tak kalah manis meskipun langkahnya
dibatasi sebuah dinding cermin. Ruangannya yang disebut etalase hanya muat
untuknya berdiri tegap bersama boneka Teddy Bear setinggi 10 centimeter di
sampingnya.
Tak peduli betapa
iba matanya—orang-orang berlalu lalang—memilih untuk menghiraukannya, sekalipun
mereka tidak berpikir untuk membelinya dan membawanya pergi dari tempat ini.
Terpaan angin
musim salju membuat mereka mencambuk langkah kaki agar lebih cepat sampai di
kediaman hangat. Di luar dingin—sementara
di tempat itu terasa pengap, ditambah rasa kecewa yang tinggi saat seseorang
membawa salah satu teman—bukan diri mereka.
“Hari ini sudah
100 temanku terjual, tapi hanya aku yang tidak mereka pilih. Kau tahu kenapa?”
keluh Teddy Bear berwarna coklat berpita merah jambu yang terikat manis di leher
pendeknya.
“Entahlah,” jawab
sekotak coklat singkat. Namun, ia tetap tenang meskipun Teddy bear berkeluh
kesah padanya setiap hari. “Mungkin karena kita hanya pajangan,” tambahnya.
“Tapi, kenapa harus
kita berdua yang ditempatkan di sini?” Teddy kembali bertanya, kali ini dengan
guratan kesedihan.
“Entahlah,”
sekotak coklat mengeluarkan jawaban yang sama.
Coklat kembali
diam sambil menatap indah hitam langit dimalam hari. Lalu matanya berpendar
pada orang-orang yang sejak tadi tak pernah habis berlalu lalang di hadapannya.
Kemudian ia menengadah—memohon sesuatu pada Tuhan yang tidak diketahui Teddy.
Ia selalu percaya jika do’a yang dipanjatkannnya akan terkabul.
“Aku tidak mau, bagaimanapun
juga harus ada!!” dari dalam toko
seorang bocah berteriak pada kasir yang terlihat kebingungan.
“Maaf sayang...
tapi boneka Teddynya sudah habis. Sekarang malam Valentine.” Ibu anak itu
berusaha menenangkan.
Namun, bocah perempuan itu tidak mau mengerti, “Tidak!
POKOKNYA HARUS ADA!!” Bocah itu berteriak lebih kencang.
“Anak ini pasti
tidak akan berhenti merengek. Biarkan saya membeli boneka Teddy yang ada di
etalase itu,” tunjuk Ibu bocah tadi ke arah Teddy si pengeluh.
Kemudian kasir
itu mengambil Teddy Bear yang berada di dalam etalase. Teddy Bear tersenyum ke
arah coklat.
“Aku dibeli! Aku
dibeli!” begitu katanya, riang.
“Syukurlah,
semoga kau bahagia,” bisik si sekotak coklat, mendoakan Teddy. Ia tetap
tersenyum dan tidak iri hari.
Teddy sudah
pergi, dibawa oleh takdir barunya. Kini sekotak coklat itu sendirian di etalase
yang mendingin setelah salju pertama turun dan melekat di dinding etalase. Ia
rela jika dirinya hanya dijadikan pajangan indah. Coklat itu bersyukur, betapa
penting kehadirannya. Berkat jasanya, orang-orang berkunjung untuk membeli
teman-temannya setelah melihatnya. Sekotak coklat itu turut mendoakan
orang-orang yang berbahagia pada malam ini. Malam coklat.
Jakarta, 27 Desember 2011
Komentar
Posting Komentar