Twins Times






“Jika kau secara tak sengaja melihat waktu kembar. Percayalah! Ada seseorang yang sedang merindukanmu.”

FESTIVAL musim semi keduaku di SMA Tatsuno. Harum serbuk bunga sakura, langit ramah, siswa-siswa menjajakan dagangannya dari dalam stand. Jika orang awam masuk, mereka akan mengira halaman sekolahku telah dijadikan pasar oleh pemerintah.
Klub yang berpartisipasi diberi lahan di halaman, sedangkan tiap kelas membuka kegiatan di dalam. Contohnya kelasku, membuka kedai ramen dengan siswi manis memakai baju pelayan. Tapi untuk tahun ini, aku harus membantu Klub pecinta hewan yang didirikan oleh Hatsuharu dengan embel-embel “Melestarikan hewan”, dengan sedikit pemaksaan. Kupikir lebih baik membuat ramen bersama Yuki, si badan semampai dengan wajah imut karena mata bulatnya. Daripada menjual Hamster yang membedakan jenis kelaminnyapun tidak bisa.
Di kananku, Klub pecinta Takeshi terlihat yang paling menarik perhatian, dimana kau bisa berfoto gratis dengan ketua Klub Tenis itu. Jika jadi Pria, kau akan merasakan betapa menyebalkannya dia.
Belum selesai melihat-lihat, Hatsuharu memanggilku dari dalam stand penuh dengan hamster. “Oi, Kiong! Kemari!” Seakan tidak punya telinga, dia selalu memanggilku seperti itu meski sudah diperingatkan.
“Sudah laku berapa?” tanyaku sambil menghampiri siswa berambut orange itu.
“Kupikir menjual Hamster bukanlah ide yang bagus.”
Bukannya kemarin dia yang ngotot sendiri?
Ketika ingin mendesah, tiba-tiba hawa dingin menyergap dari bawah meja tempat kandang Hamster diletakkan. Di sana ada Akira, penuh kesedihan.
Beberapa minggu sudah berlalu, tapi dia masih mengenang peristiwa dimana Asakura kepergok menggandeng pria lain saat kami menonton konser Rip Slyme. Bukannya menyesal, Asakura justru mencampakkannya.
“Wanita itu tidak ada yang baik kecuali Ibumu!” Nasihat yang bagus! “Sudahlah! Nanti kau dikira induk Hamster sama pelanggan kalau berdiam diri di situ,” tambahnya.
Satu hal yang perlu kau tahu saat ingin berteman dengan Hatsuharu : Dia akan selalu berbicara hal yang menyakitkan tentangmu tanpa peduli kau akan menangis setelahnya. Kupikir jadi induk Hamster lebih baik daripada diselingkuhkan oleh pria yang tiga kali lipat lebih tampan dariku.
“Ayo! Bantu aku berjualan. Jika kalian diam saja, rambutku akan rontok untuk memikirkan strategi lain.”
Ngomong-ngomong soal rambut, Hatsuharu pernah ditegur Taniguchi-sensei. Hal yang menurutku tidak perlu dikatakan—saat dia mengaku jika keluarganya keturunan Raja Yemima yang dikutuk oleh 10 penyihir hebat karena telah membunuh ketua penyihir yang menciptakan ramuan kematian. Kutukan rambut orange itu tidak akan lepas sampai keturunan 50 dan katanya dia termasuk keturunan ke 49.
Jika orang sejenius Taniguchi-sensei percaya, pasti karena beberapa faktor : otaknya telah terinfeksi semacam virus atau sudah dibingungkan oleh gelombang beracun. Daripada menanggapi fantasynya, Taniguchi-sensei memilih membiarkan.
“Kau mau beli Hamster?”
Apa dia terlalu putus asa sehingga menawarkannya padaku?
“Tidak! Setelah Hachiko mati karena keracunan makanan, aku tidak diperbolehkan memelihara hewan lagi.”
“Sayang sekali!”
Tepat saat aku menghitung berapa biaya makan Hamster untuk satu bulan, si menyebalkan Hatsuharu bertanya, “Kau tidak mau diramal?” tunjuknya pada sebuah tenda tertutup berwarna hitam di sebrang kami. Seorang wanita bercosplay penyihir mempromosikannya dengan ramah.
“Untuk apa?”
“Akhir-akhir ini kan tidak ada wanita yang sudi dekat denganmu. Siapa tahu dia punya benda penangkal ketidaklakuanmu.”
Stand kami memang sepi dan kesempatan ini bagusnya kugunakan untuk memukul mulutnya sampai berubah bentuk.
Ya... Jika aku dibilang termakan omongan Hatsuharu, memang benar. Saat Hatsuharu sibuk dengan pelanggan, aku mendekati tenda peramal itu. Siswi bercosplay penyihir itu bertanya, “Mau diramal?”
Aku mengangguk pelan. Kemudian dia menodongku 200 yen—mau tak mau aku merelakan uang makan siangku untuk hal yang kucurigai sebagai penipuan berkedok ramalan.
Setelah transaksi pembayaran selesai, wanita itu menyibak gorden tenda—mempersilahkanku masuk. Di dalam agak gelap—ada berbagai pernak pernik bergambar tengkorak dan boneka vodoo dari kayu yang mungkin saja dibeli dari toserba Himawari dengan potongan harga.
Tepat saat aku berfikir tidak ada orang di sini, sebuah pekikkan memerintahkanku—hampir membuatku lompat ketakutan, “Silahkan duduk!!”
Lalu aku duduk di sebrangnya, sebuah meja yang diatasnya diletakkan bola kristal menjadi pembatas kami. Dibalik jubah hitam dan tudung yang menutupi seluruh tubuhnya, dia mengocok kartu tarot dan menjejerkannya di atas meja. Dengan isyarat tangan, aku diperintahkannya untuk memilih tiga kartu, lalu meletakkannya dalam keadaan terbuka.
Melihat sekilas, dia langsung memberiku sebuah kalimat, “Tepat waktu kembar tengah malam  di taman kota, kau akan menemukan jodohmu.”
Tak asing, dari suaranya dia pasti Akane Sora—siswi berdarah tinggi yang menyebarkan mitos tentang waktu kembar, tak perlu kubahas siapa dia dan kenapa membencinya.
“Cih! Kau kira aku kelelawar? Pergi saja sendiri!” Aku bangun dari tempat duduk dengan satu tingkat kejengkelan di wajahku.
“Kalau tidak percaya, ya sudah!”
Sia-sia 200 yen yang sudah kukeluarkan untuk hal absurd begini. Hatsuharu sial! Dia pasti sedang tertawa sekarang setelah sukses mengerjaiku.
“Kembalikan uangku!”
Dia membuka tudungnya—menatapku seolah-olah akulah pembunuh Ayahnya, “Kau sudah kuramal, BAKA!”
“Kalau kau peramal, aku sekjen PBB!!”
Sebelum aku menuduh Hatsuharu dengan keji dan melemparkannya dari atap sekolah, dia justru tersedak bekal makan siangnya setelah kuceritakan semuanya.
“Jadi, peramal misterius itu Akane Sora?” Setidaknya itu bisa membuatku percaya kalau dia tidak sedang mengerjaiku.
“Bukannya dia hanya dikenal sebagai penyebar mitos? Aku hampir percaya saat dia menyebarkan mitos tentang larangan berdiri di depan pintu karena bisa-bisa kita akan lama mendapatkan jodoh. Lalu bagaimana dengan penjaga pintu di Tokyo Dome?” lanjutnya.
Bicara saja dengan pagar sana!
“Pria itu, jika disakiti wanita bukannya benci malah semakin sayang,” mulut Akira yang biasanya tersegel, kini terbuka dengan mulut yang mengunyah nasi kepal.
“Pengalaman pribadi, ya?” Si bodoh Hatsuharu kembali membuat si pria berambut hitam berjambul itu berwajah sendu.
“Apa benar Kio?”
Hatsuharu menunggu jawabanku setelah kumenelan roti berisi daging sapi. Kenapa sih kalian selalu membahas hal yang paling tidak ingin aku dengar?
“Sudahlah!” Aku meninggalkan mereka dengan mulut yang masih mengunyah, roti yang kumakan terasa hambar, dadaku terlalu sesak.

“Kiong! Oi, Kiong!”
Aku mengerjap mata, pertama kali yang kulihat adalah wajah dungu Hatsuharu—tapi melihat wajahnya malah menyadarkanku—ketiduran di kelas hingga larut malam. Aku membangunkan tubuhku dari meja, “Sudah jam berapa?” tanyaku.
“Jam sebelas lewat empatpuluh lima menit.”
“HA? Bisa-bisa aku dibunuh Kaza!”
Aku buru-buru mengambil tas.
“Sayang sekali kau tidak melihat pesta puncak—“
Melangkah seribu kaki, aku memotong pembicaraan Haru, “Aku pergi!”

Kukayuh sepedaku sekencang yang kubisa. Udaranya membuatku bersin-bersin atau mungkin aku mulai alergi serbuk bunga sakura? Sebelum aku hampir terkejut setengah mati, mataku memastikan perempuan yang duduk di kursi panjang taman bukanlah hantu, melainkan Akane. Tanpa perintah otak, kakiku berhenti mengayuh saat di depan taman.
Tak lama bagi Akane untuk menyadari keberadaanku, “Sedang apa kau di sana?” Kucing yang mengeong sampai terdiam saat mendengar nada kesadisannya.
“Kukira kau hantu jadi berhenti,” jawabku. Sejurus kemudian aku sadar, jawabanku buruk sekali.
“Ya sudah, aku pulang dulu.”
Tepat saat aku ingin kembali mengayuh sepeda, Akane meneriakkan namaku. Dia menghampiriku dengan tatapan hangat yang jarang kutemukan akhir-akhir ini.
“Setiap hari aku melihat waktu kembar. Kau tahukan maksudnya? Apa kau—”
Aku memotongnya, “Jika aku bangkit nanti. Jangan pernah harap aku kembali, karena menata hati butuh perjuangan, meski jatuh cinta begitu mudah.”
Suara Jangkrik sayup terdengar, menjadi bagian soundtrack dalam adegan bisu kami. Tapi, selang beberapa detik, Akane mengibas rambut hitam sedadanya kemudian tertawa garing.
“Baka! Mana pernah aku merindukanmu. Melihat waktu kembar saja tidak! HAHAHA.”
Walau kupikir hal ini tidaklah bijak, karena orang yang tanpa rasa humor akan tersinggung dalam hal ini. Sementara orang dengan rasa humor tinggi akan tertawa hina. Lantas aku membuang muka—kukayuh sepeda untuk menjauh darinya.
Jika diingat, hal ini sungguhlah tidak wajar. Awal pertemuan kami di perpustakaan sekolah—sama-sama menyukai buku karna cover daripada isi. Aku mengungkapkan perasaanku di cafe dekat sekolah. Dia menyuruhku untuk menunggu seminggu sampai rasa penasaranku meledak dan akhirnya menerimaku.
Suatu kali di kedai ramen, Akane menanyakan keseriusanku. “Sekalipun kau tidak pernah mengungkapkan rindu atau sayang. Apa kau serius menyukaiku?”
“Apa harus diungkapkan dengan kata-kata?”
“Perlu!”
“Aku—“
Dia memotong pembicaraanku, “Begini saja! Setiap aku melihat angka kembar, aku akan menganggapmu sedang merindukanku. Bagaimana?”
Aku mengangguk, dia terlihat senang.

Tiga bulan kemudian.
“Kita putus. Gomene,” sambungan ponselku terputus.
Dua kata itu seakan membawa rohku terbang ke dunia berbeda. Saat perasaanku berjuta kali lipat lebih menyayanginya dari kemarin, lewat sambungan telepon, kami putus tanpa alasan. Kuketahui saat itu tepat jam 11:11, dimana menjadi waktu untuk merindukannya, namun kini menjadi alasanku tidak percaya pada mitos apapun.

Suatu hari aku melihatnya duduk berdua dengan Takeshi di kursi reguler di stadion baseball. Seminggu kemudian aku mendengar kabar jika Takeshi berpacaran dengan Asakura, mantan Akira. Saat aku hampir melupakannya, di kelas dua dia duduk di depanku. Kukira kami akan kembali dekat, tapi dia memulai perang. Mengangguku dengan contekan palsu saat ulangan, mengunciku dibilik toilet, mengganggu acara pendekatanku dengan Yuki. Yang paling parah, membuatku kehabisan tiket konser Monkey Majik yang kutunggu-tunggu selama setengah tahun.
Seperti makan ramen malam ini. Awalnya hangat dan gurih, disendokkan terakhir semakin panas dan pedas. Seperti hubungan yang awalnya saling memanggil ‘Sayang’ dan berakhir dengan makian.

Aku berhenti di toko Himawari yang buka duapuluh empat jam untuk membeli buku sketsa. Siapapun yang lewat, mungkin menduga aku akan merampok karena kelaparan. Siapa yang menyangka jika aku bertemu Yuki yang baru pulang sekolah juga. Kalau Akane virus, Yuki berarti antivirusnya.

***

Setelah jam pelajaran keempat, aku dan Hatsuharu melintas di koridor menuju ke ruang klub pecinta hewan.
“Sebaiknya pakai pita biru atau merah?” tanya Haru saat kami berjalan di samping loker sepatu. Di mana ada Akane yang sedang mengganti sepatunya di tangga.
“Yuki suka warna Aquamarine,” jawabku sambil menoleh ke Akane yang tidak merespon tatapanku. Tapi kurasa telinganya masih aktif untuk mendengarkan ocehan kami.
“Ini akan menjadi pengungkapan perasaan yang luar biasa. Sugoi ne...”
“Kali ini tidak boleh gagal!”
“Haik!”

Di ruang klub pecinta hewan yang sebentar lagi akan dialokasikan menjadi perpus baru karena kekurangan peminat, rencananya kini kujadikan tempat untuk pengungkapan perasaanku pada Yuki. Di sela aku menyambung pita putih dengan balon biru atau balon merah muda dengan pita putih, Akane dan sahabatnya Erica menghampiriku dengan tatapan dingin seolah aku adalah seorang koruptor yang tertangkap basah menyogok seorang hakim. Untuk sementara, aku, Hatsuharu dan Akira menghentikan kegiatan kami.
“Hai!” sapa Erica, gadis keturunan Jepang-Inggris yang mempunyai senyum lebar.
“Aku ingin bicara,” kata Akane kemudian.
“Bicara di sini!”
Dia tampak ragu saat mengetahui kedua temanku memerhatikannya di belakang. “Bisakah kita berteman saja?”
“Kau sedang bercanda?”
“Ki—“ dia tampak ingin mengungkapkan sesuatu yang sulit dijelaskan. “Gomen,” ucapnya samar, lalu pergi—rambutnya yang panjang mengibas sedikit angin ke wajahku.
 “Wanita memang seperti itu, setelah menyakitimu dia ingin jadi temanmu,” komen Hatsuharu.
Erica membuka mulutnya, “AHOO! Tadi Akane sedang berusaha meminta maaf. Dia sangat menyesal telah memilih pria lain yang malah memilih wanita lain. Dulu dia ingin meminta maaf dan meminta balikan. Tapi setelah melihatmu dekat dengan Yuki dan kau tampak sudah melupakannya, dia jadi berubah jahat padamu. Kemarin malam dia menunggumu di taman sampai masuk angin, tujuannya agar kau sadar jodohmu adalah dirinya. Setiap tindakan menyakitkan yang mantanmu lakukan, sebenarnya itu adalah bentuk ‘cari perhatian’ agar kau kembali mengejarnya. Akane benar, kau tidak PEKA!!”
Terkadang mempunyai sifat tak peka itu lebih kejam daripada menghianati seorang kekasih. Dengan sifat acuhku, bahkan ketidakjujuran perasaanku terhadapnya, baginya akan sama saja seperti menunggu sebuah jasad orang yang dicintainya untuk hidup kembali. Tapi aku bukanlah sebuah jasad, aku mampu berbicara untuk menyembuhkan lukanya.
Kakiku bergerak menyusulnya, kulihat pintu kelas terbuka, kutengok tapi tak ada siapapun yang menandakan asal isak seorang wanita di dalam. Perlahan, aku berjalan diantara meja-meja kelas dan menemukan Akane sedang menangis di kolong meja guru, aku menghampirinya dan segera mendekapnya sebelum dia menangis lebih kencang.
“Gomenasai,” bisikku pada akhirnya. “Salahku menjadi Pria tak peka.” Dia semakin kencang menangis.
“Saat aku melihat waktu kembar. Percayalah! Aku akan berlari ke arahmu.”

Di dunia yang luas ini, tak dapat kulukis dalam kata-kata tentang kegembiraanku bertemu denganmu. Lalu kita berdua tersenyum dan menyanyikan “do re mi” tentang musim gugur penuh warna yang akan berlalu dan seakan membawa musim dingin dibelakang kita dan menanti sinar matahari yang menembus daun-daun musim semi. Seakan menunggu seseorang terlahir kembali, supaya kelak kita dapat melindunginya.
Jika kulihat kembali jalan yang kita lalui, aku selalu melihatnya dengan pandangan takut. Aku ingin menjadi pacarmu tapi tak bisa jujur. Aku mengulang hari-hariku dimana aku tak bisa mencintai pasanganku dengan terus terang. Walaupun aku benci, tapi aku lebih baik sendiri. Hingga aku dapat mencintaimu tanpa rasa sakit.

Aqua Timez – Sen No Yoru wo Koete

Jakarta, 15 Februari 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Meraihmu

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)