Arakawa, Kimi Dake





Cawan bermotif bunga asoka, kabuse-cha mengepul. Meja makan pendek menjadi pembatas sepasang pendiam kegetiran itu. Ruang makan kedap suara, restoran bertema tradisional. Shouko Mamura tidak bernapas dua detik ketika menggeser kotak persegi berlapis bahan beludru biru tua, berisi emas putih. Begitupun Otoko[1] di seberangnya—Hyde.
“Aku tidak bisa. Kucari dimanapun tetap tidak ada,” ungkap Shouko lembut. Menggenggam erat kimono bermotif bangau yang dikenakannya.
“Shouko-chan.” Hyde bergetar, menahan untuk tidak menuju Shouko.
Shoujo[2] itu memandang sang Pelamar penuh kemantapan. “Kau menginginkan pernikahan sekali seumur hidup. Tapi bukan denganku. Tiga tahun ternyata tidak cukup.” Setetes air asin jatuh ke punggung tangannya.
Hyde mengangguk, apa yang dia mengerti dari anggukan itu selain sakit hati.
Shouko berdiri lantas membungkuk, mengucap salam terakhir. Berputar dan menggeser fusuma. Keluar seperti geisha diiringi nagauta samisen dipertunjukan kabuki. Acara resmi itu berujung tanpa keindahan. Tiga senarnya putus. Tidak bisa diperbaiki.
 Di tempat dan milidetik yang sama. Hiromu Arakawa membom meja pendek dengan tinju besarnya. Seorang Otoko incarannya ketakutan, terus menghindari serangannya.
“Hentikan!” pekik Wanita paruh baya yang berdiri di sudut, mencari celah untuk menghentikannya.
“Kau monster!” Otoko itu memakinya.
Hiro bukan monster melainkan iblis. Wajahnya memerah. Mata tipisnya seolah menyilet apapun yang dipandang. “Aku akan membunuh kalian!”
“Hiromu ARAKAWA!” Wanita itu melemparnya dengan shatsume[3] berisi matcha panas ke bahunya.
Hiro sudah mati rasa.
“Aku tidak pernah mencampuri hidupmu, kau juga harus menghormati urusanku,” imbuhnya.
“Di sini.” Hiro menepak jantungnya menahan isak. “Ada darahmu. Kenapa aku harus punya Ibu sepertimu?”
“Pergi!”
“Kau tidak tahu jawabannya?”
“Karena itu bukan sebuah pertanyaan.”
Mata yang memerah itu terpejam, mengatur napas. Mencari sifat kebaikannya yang ia tukarkan beberapa menit pada iblis. Ia mengambil kacamata hitam dari balik jaket kulitnya lalu mendorong fusuma dengan kaki. Melupakan kerusakannya. Melupakan kepahitannya. Hanya perlu jalan sepanjang dua puluh meter menuju lift di samping pohon momiji plastik. Tidak beda akan kepulangan kemarin. Di sampingnya, Shouko memandang kosong, menunggu lift terbuka.
Suara lift terbuka, mereka menghembuskan napas lewat mulut. Masuk ke ruang kosong itu. Shouko yang berjarak dekat dari tombol menekan lantai satu.
“Basement.” Hiro meminta.
“Baik.”
Saat beranjak menekan, pandangan Shouko kabur sehingga ia menekan semua tombol dengan kelima jarinya.
“Ah, gomen.” Ia membungkuk setelah pandangannya normal.
Hiro mendesah.“Baka,[4]” ejek Hiro pelan namun dalam.
Shouko menoleh kesal. “Kau juga. Di dalam ruangan tapi pakai kacamata hitam,” balasnya, sekaligus mencari pelampiasan.
Hiro melepas kacamata, menantang Shouko. “Tidak ada undang-undangnya, kan?”
Shouko dan Hiro terkejut, wajah itu….
“Kau?” mereka saling menunjuk, percaya tak percaya.
Tepat saat itu, lift mengalami goncangan hebat.
“Hah? Kenapa?” Shouko ketakutan setengah mati.
Setubuh dengan Hiro, meski ia menginginkan mati.
Doa mereka terkabul, empat puluh lima detik lift kembali normal hanya saja tidak bergerak di lantai enam.
Shouko segera menekan tombol darurat berulang kali. Tak lupa, ia melambaikan tangan di CCTV yang berada di sudut langit-langit lift.
“Tolong kami! Tolonggg.”
Hiro menyilangkan tangan. “Tidak berguna.” Ia berbalik dan duduk di sudut kanan lift.
“Kau tidak melakukan sesuatu?” tanya Shouko.
“Pasti akan ada yang menolong.”
Hiro membuka ponsel, tidak ada sinyal, kemudian melemparnya pelan. Wajah dingin itu, tidak bisa ditolerir. Suhu Kutub Utara berpindah ke lift. Tak ada yang bisa dilakukan Shouko, maka ia putuskan duduk di sudut kiri lift. Sekarang mereka hanya berjarak tiga langkah.
Hiro mengamati kimono merah padam Shouko sedetail mungkin. “Pakaianmu formal sekali.” Ia ingat, sudah tiga tahun.
Shouko berpaling agar kebohongannya tak tercium. “Aku habis menghadiri resepsi pernikahan. Kau?”
“Aku sedang melamar kerja.”
Dan mereka saling percaya pada kebohongan masing-masing. Nanar mata mereka memandang suatu teramat jauh. Tiga tahun lalu….

 Suatu hari, ketika aku bertemu dengan seseorang yang kucintai. Aku ingin menemuinya dengan tangisan dan berpisah dengan tawa.

Musim gugur, 2011
Seorang Dansei[5] menghapus nama di lembar jawaban Hiromu Arakawa menjadi Shouko Mamura. Sebaliknya, Shouko Mamura menjadi Hiromu Arakawa. Lalu menyeringai.
SMA Takenodai di distrik Arakawa mempunyai dua murid yang saling terbelalak ketika Taniguchi-sensei[6] menunjukkan kejanggalan lembar jawaban di ruang guru. Hiro terbiasa mendapat nilai baik, mendapat nilai buruk. Shouko biasa mendapat nilai paling buruk, mendapat nilai sempurna.
“Ada apa dengan kejadian ini, dewa sedang mempermainkan takdir?” Taniguchi-sensei tidak juga yakin dewa mengutuk kedua muridnya.
Namun, Hiro menangis tanpa merengek. Shouko menangis bahagia.
“Aku sudah merasa benar, mengapa terjadi?” protes Hiro pada langit-langit.
Shouko juga menatap langit asli di luar jendela, “Okaa-san dan otou-san.[7] Sekarang anakmu jenius! Ini pasti karena aku tiga kali terbentur dinding. Bukannya angka ganjil itu membawa keberuntungan?”
“Tunggu-tunggu, jangan tunjukkan emosi itu dulu!” larang Taniguchi-sensei. “Ini sudah empat kali terjadi. Kemarin Takashi, Erica, Haru sekarang Shouko.”
“Apa?” Hiro mengelap airmatanya, tersenyum muak. “Kukira aku jadi bodoh.”
Fusuma ruang guru tergeser pelan, seorang Dansei berpostur tinggi besar masuk ketakutan.
“Itu dia,” tunjuk Taniguchi-sensei.
Hiro berbalik, agak kaget melihat sahabatnya. “Yuuji, kau konspirasi dengan mereka?”
“Bu-bukan, aku hanya ingin beritahu Chiaki menunggumu di taman Shioiri,” jawabnya.
Shouko menyadari satu hal. “Jadi, lembar jawaban kita ditukar?”
“Kau itu lamban sekali,” gumam Hiro, langsung beralih topik.” Sekarang dimana mereka?”
Taniguchi-sensei memukul folder ke meja. Mereka terkesiap.
“Kalian perang, nilai tidak akan dirubah!” ancamnya.
Hiro kini merengek. “Itu tidak adil, Sensei.”
“Yatttaaaa….” Shouko bertepuk tangan.
Upaya Taniguchi-sensei agar Hiro tidak adu kehebatan adalah menyapu halaman depan penuh daun berguguran yang 70% berpotensi akan selesai tiga hari, karena itu Shouko diajak.
Satu persatu fans Hiro berdatangan, mengambil gambar gratis. Hiro menikmatinya dan meninggalkan pekerjaan. Shouko membanting sapunya dan ikut berfoto. Secara agresif menggandeng Hiro. Fans Hiro cemburu dan mengusirnya, tapi Shouko keras kepala.
Seorang Josei[8] memakai syal ungu memberikan ponselnya ke seorang Dansei yang menunggunya di balik pohon. Setelah memberikan uang, ia tersenyum misterius.
Esoknya, di papan buletin heboh foto kemesraan Hiro dan Shouko. Di bawah foto itu terdapat tulisan, ‘mereka pacaran diam-diam agar fans Hiro tidak cemburu dan pamornya hilang’. Puluhan Fans Hiro kecewa.
Setelah memasang uwabaki[9] di loker, Hiro ditarik Yuuji ke papan buletin, sebentar lagi karismanya tidak berlaku.
“Si-siapa yang menempelkannya?” Hiro seperti berada di dalam pesawat yang akan crash.
Para fans Hiro satu persatu pergi sambil menangis. Ia bukan apa-apa tanpa fans, dan sekarang ia bukan siapa-siapa bagi fans.
Sekarang tidak ada josei yang menyambutnya di kelas, memberi bento saat istirahat atau berjuang memperebutkan roti isi daging untuknya. Dua dansei yang memerhatikannya dari kejauhan melakukan high five. Mereka berhasil menghancurkannya.

***

Kecipak sungai Sumida terdengar dari jembatan Suijin. Seperti rutinitas, Hiromu Arakawa berkeluh kesah dan melemparinya batu ketika sore. Bahwasanya, apapun masalahnya, hanya dengan melihat aliran sungai, masalah serasa terselesaikan. Hidup tanpa dipuja shoujo sungguh hampa. Tapi itu hanya penyumbang 20% dari masalah sebenarnya.
“Kau seperti Nino[10].”
Di sebelahnya, Shouko datang tanpa ditebak. Kepangannya berantakan, penuh tepung dan telur busuk. Hiro segera tahu, Shouko habis diisengi mantan fansnya.
“Kata Nino, dia dari venus sedangkan Riku[11] dari mars karena itu mereka sering berselisih,” lanjut Shouko.
“Apa salahnya jadi Nino?” pandangan Hiro kembali ke sungai.
“Kau seharusnya jadi Kento Hayashi.[12] Waktu itu dia syuting di sini. Sutradaranya galak, aku tidak dapat tanda tangannya. Tapi rasa kecewa itu terbayar saat temanku bilang di sekolah ada dansei yang mirip dengannya, itulah kau. Aku—Shouko Mamura akan menjadi fansmu apapun yang terjadi,” tuturnya antusias.
Hiro punya ide, sebelah alisnya naik. “Kalau begitu, kau kuanugrahi sebagai fans setiaku.”
“Honto ni?[13]
“Apapun yang terjadi aku akan menjaga fansku.”
Seperti politikus yang berjanji akan melindungi negaranya, Hiromu Arakawa adalah pendusta. Ketika keluar dari toserba himawari pukul sembilan malam. Shouko Mamura melepas kantung belanjaan berisi roti tawar, madu dan nori[14]. Ia dihadang dua otoko berwajah mesum. Chiaki dan Tamaki.
“Yare… yare… ada kekasih Hiro.” Chiaki memukul-mukul balok kayu ke bahunya.
“Kita berhasil menjodohkan mereka, bukan? Kekasihmu tak sungkan meninggalkannya,” disambung Tamaki.
Hiro datang dari balik punggung Shouko seperti pahlawan yang datang dimenit terakhir episode pertama. “Menyentuh jarinya akan kupatahnya tangan kalian. Menyentuh bahunya akan kupatahkan leher kalian. Tak ada yang boleh menyentuh kekasihku!”
Detak jantung Shouko sempat terhenti tiga detik.
Hiro mendekat dan melayangkan tinju. Chiaki berhasil menangkapnya, tersenyum kecut lalu memelintir tangannya. Hiro berteriak. Shouko menggeleng sambil berdecak, menyingsingkan lengan mantelnya kemudian menghabisi mereka dengan jurus right straigh punch, triple punch dan tendangan mematikan di perut. Chiaki dan Tamaki tersungkur, darah keluar dari mulutnya.
“Aaa~~~ lenganku remuk!”
“Bokongku kram!”
Shouko menepuk tangannya, membersihkan debu. Hiro terbelalak. Chiaki dan Tamaki lari terbirit-birit. Shouko membangunkan Hiro, mengambil plester obat dan menempelkannya di sudut bibir Hiro.
“Mana kemampuanmu?” tanya Shouko tanpa memandang remeh Hiro.
Hiro tak mendengarkan, terlalu malu diketahui tidak bisa bela diri dan biasanya dibantu Yuuji. Saat ini, jarak wajah mereka hanya sejengkal.
“Kalau dilihat dari dekat, kau cantik juga.” Hiro mulai mengeluarkan pesona matanya.
Shouko menunduk, tersipu.
“Ada dua tipe shoujo di dunia ini. Yang tidak enak dipandang dan enak dipandang. Kau tipe kedua,” lanjutnya.
Kepala Shouko mendidih. Hiro tersenyum tipis lalu terdiam, air mukanya mengartikan banyak hal salah satunya, ‘tidak menarik’.

Hotel Arakawa, di dalam lift yang mati, 2014
Hiro melihat jam tangan. Tiga jam lagi tengah malam. Belum ada yang menyelamatkan mereka.
Hiro merenung sebentar lalu berkata, “Bila kita mati di sini—”
“Tidak akan!” dibantah keras oleh Shouko.
Hiro tetap meneruskan. “Aku tidak ingin mati sebelum meminta maaf.”
Tidakkah ia tahu kesalahannya sangat fatal?
“Aku kemarin memimpikanmu, persis seperti ini.”
“Hentikan! Aku tidak percaya!”
Shouko seperti trauma. Otaknya memutar potongan gambar, memuat kisah pahit lalu. Mulut Hiro adalah pelumas, mampu melicinkan hati josei manapun.
“Kalau dilihat dari dekat, kau cantik juga.”
Karisma tajam mata lancip itu.
“Ada dua tipe shoujo. Yang tidak enak dipandang dan enak dipandang. Kau tipe kedua.”
Kalimat yang sama untuk sepuluh josei dihari berbeda. Baru seminggu Hiro menganggap Shouko spesial. Hiro tidak tulus. Melupakannya. Tercampakkan. Tanpa ada keterangan putus atau tidak.
Dan untuk terakhir kali, Shouko berpapasan dengan Hiro di luar gerbang sekolah. Mereka beradu pandang sebelum Hiro naik ke taksi.
“Kau mau kemana?” tanya Shouko, menahan isak.
“Kyoto. Arakawa mulai membosankan.”
“Hiromu Kyoto?”
“Tidak, aku tidak akan menggantinya. Itu identitasku.”
Hiro beranjak membuka pintu taksi. Shouko lepas kendali, airmatanya tidak bisa ditampung.
“Kau itu seperti es.”
Hiro membuka pintu.
“Es yang hangat.” Shouko melanjutkan.
Hiro masuk ke mobil, tanpa meninggalkan ekspresi apapun.
Ingatan yang singkat namun menyakitkan. Lift semakin dingin, pekerjaan Hiro kini memandangi Shouko, berusaha mencari tahu jalan pikirannya.
“Saat kelas tiga orangtuaku bercerai dan aku ikut ayah ke Kyoto. Ayah berteriak, kita bebas. Ibu tidak bisa memberikan kebahagiaan untuk Ayah. Maka kuganti dengan prestasiku,” terang Hiro.
Shouko segera menoleh, mulut dan kakinya bergetar.
“Aku ingin populer, kulakukan berbagai cara terutama menyakiti seseorang,” lanjutnya.
Sebagian Shouko masih menganggap itu bualan.
“Kalau tahu, kenapa kau lakukan? Barusan, aku menolak otoko yang dua kali lipat lebih mapan, tampan dan baik hanya karena masih mengingatmu.”
“Karena itu aku tidak meneruskannya. Semakin kita dekat, aku semakin menyakitimu. Kita tidak mungkin melupakan orang yang terlanjur ada di memori, kecuali kehilangan ingatan.”
Sekarang Shouko seutuhnya memercayainya. “Kau benar-benar.” Shouko menggeleng sekaligus tersenyum.
Bertepatan Hiro menyambut senyumnya, lift terbuka. Teknisi berhasil mereparasi.
“Maaf, menunggu lama,” kata salah satu teknisi.
Shouko dan Hiro berdiri, keluar dari lift.
“Kembalilah ke acara lamaran itu, kalau kau bisa sangat mencintai orang sepertiku. Cintamu akan sebesar apa pada orang yang semuanya lebih dua kali lipat dariku. Kau, hiduplah yang baik,” pesan Hiro.
“Kau juga. Jadilah anak baik.”
Mereka tersenyum.
“Sampai jumpa.” Hiro pamit.
“Em.” Shouko mengangguk.
Mereka bertemu dengan tangisan, berpisah dengan senyum di Arakawa.

Jakarta, 28 Maret 2013



[1] Pria
[2] Gadis
[3] Wadah ocha
[4] Bodoh
[5] Murid laki-laki
[6] Pak Taniguchi
[7] Ibu dan Ayah
[8] Murid perempuan
[9] Sepatu khusus untuk di kelas
[10] Pemeran utama wanita di film Arakawa Under the Bridge
[11] Lawan main Nino
[12] Aktor di film Arakawa Under the Bridge berperan sebagai Riku
[13] Benarkah?
[14] Rumput laut kering

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)