My "Korean" Girl

Sudah sebulan lebih Korean wave menjajah gadisku, Lily. Dari style, selera musik dan makanannya berubah. Bahkan, pertumbuhan poster BoyBand Korea di kamarnya berkembang pesat daripada warung makan padang di dekat rumahku.
Saat kencan, Lily selalu membicarakan Thunder MBLAQ. Dia bisa menjelaskan panjang lebar tentang musik Korea dalam sepuluh halaman Microsoft Word, tapi payah dalam menjelaskan berita kriminal di tanah air. Di samping itu, Lily punya impian yang muluk. Dia ingin pergi ke Korea untuk menonton konser MBLAQ. Boleh saja! Asalkan aku ikut, tujuannya untuk mencekik Thunder di atas panggung nanti. Hus! Aku mikir apa?
Tuhan, apa tujuanku dilahirkan hanya untuk melihat pacarku tergila-gila orang lain? Meski Thunder nun jauh di sana, tapi hatiku tetap saja sakit saat dia selalu membahas orang yang sama dengan mata berbinar seperti ini, “Andai Thunder jadi pacarku, aku pasti akan setia”.
Aku penasaran dengan rupa orang itu, lantas kucari di Google. Sungguh menyesal, aku jadi semakin terlihat buruk saat melihat wajah Thunder yang mempunyai kulit putih mulus, sempurna. Sebulan sudah rambutku tidak kunjung tumbuh. Aku takut jika ini akan menjadi permanen. Salon yang kudatangi sebulan yang lalu sudah tutup, minta pertanggung jawabanpun tidak mungkin. Sampai kapan aku akan jadi cimol begini?
Belakangan ini, Lily pun memanggilku Lee Min Hoo, pria idaman keduanya. Yang benar saja? Jujur, aku merasa tidak nyaman dengan hubungan ini meski putus bukanlah pilihan yang bijak.

***

Malam ini, di kafe rumahan dekat kediamanku. Aku telah menyiapkan sebuah cincin untuknya. Walau harganya tak seberapa, bagiku yang terpenting adalah rasa cintaku yang tidak bisa dibeli dengan mata uang manapun.
Aku segera menyembunyikan cincin di saku celana saat Lily datang dengan longdress putih, rambutnya dibiarkan tergerai sedada lalu duduk diseberangku.
“Kau mau makan apa?” tanyaku segera.
“Tidak perlu. Aku buru-buru.”
“Mau kemana?”
Lily menggeleng, “Tidak kemana-mana.” Dia terdiam sejenak sebelum mengatakan yang selanjutnya, “Lee Min Hoo, aku sudah berpikir ribuan kali tentang ini. Ada baiknya jika aku mengakhiri hubungan kita.”
Aku tersentak, “Kenapa? Aku masih menyayangimu, Lily.”
“Ada pria lain di hatiku.”
“Maksudmu Thunder? Aku tidak cemburu meski pikiranmu selalu melayang ke arahnya saat kita kencan. Tidak masalah bagiku, aku mohon jangan begini.”
“Mianhe—“
Aku memotong ucapannya, “Jangan pakai bahasa Korea. Aku tidak mengerti.” Aku amat gelisah sekarang. Kehilangannya, tak termasuk dalam resolusi hidupku tahun ini.
“Bukan Thunder atau artis Korea manapun. Ada seorang pria yang lebih mengerti tentang kegemaranku, komunikasi kami sangat baik saat membahas Korea, tidak seperti kita,” jelasnya.
“Siapa dia? Apa aku kenal?”
“Tidak. Aku mengenalnya di festival Korea. Dia mengungkapkan perasaannya padaku tadi siang dan sekarang sedang menunggu jawabanku.”
“Kau tidak bilang jika punya aku?”
“Aku bilang, tapi dia tidak peduli.”
“Lalu sekarang? Kau lebih memilih dia?”
Lily mengangguk, “Nee.”
Aku menunduk menahan tangis.
“Kau pria yang baik. Kau pasti akan mendapatkan wanita yang lebih baik lagi. Lee—em... maaf, sekarang namamu bukan Lee Min Hoo lagi, tapi Rifan. Jaga dirimu baik-baik, aku pergi.”

Lily meninggalkanku, membuang segala impian dan menempatkan kekecewaan di sampingku. Ada begitu banyak cinta yang tak sampai padanya hari ini. Cinta. Selalu memperdayakanku dalam detik yang tak lazim.

Sepulang dari sana, aku pergi ke beranda kamar dan membuang cincin itu. Karena pada kenyataannya, hanya dia yang pantas memakainya.

Esok pagi, Adikku yang mempunyai senyum serigala seperti di dalam dongeng Red Riding Hood menyapaku di meja makan. Dia menunjukkan cincin yang semalam kubuang.
“Kak, aku menemukan ini.”
Dalam keadaan seperti ini, aku tersedak nasi goreng dengan sangat hebat.
“Pantas saja dia memutuskanmu, kau beli cincin duapuluh lima ribuan. Cih!” hinanya.
“Tahu apa kau? Sini kembalikan!”
Aku berusaha meraihnya, tapi dia segera menyembunyikannya di balik punggungnya.
“Aku tahu. Facebookmu penuh dengan status kegalauan. Kau itu sudah duapuluh tahun kak, seharusnya kau malu. Ma-lu!”
Andai saja tidak ada pembantuku di sini, pasti dia sudah kubuat perkedel rasa daging berbentuk segitiga.

***

Tuhan mungkin lupa memberikan musim hujan ke jakarta. Matahari semakin menyengat meski sudah memasuki bulan oktober. Sekarang, siapa yang berani bilang coba kalau musim hujan selalu datang pada bulan yang diakhiri kata –ber?
Setelah mata kuliah selesai, aku berjalan di halaman—berharap tidak bertemu Lily yang semakin cuek padaku. Tapi Tuhan selalu mempunyai cara baru untuk mempertemukan kita.
Seorang pria yang dikabarinya dulu, menjemputnya dengan mobil Mazda putih. Dia tinggi dan berkharisma—mirip aktor Korea dan yang terpenting, dia tidak botak. Pantas saja aku dicampakkan. Dari segi fisik, aku jelas kalah telak. Kata orang, jelek itu mutlak dan tidak sepantasnya aku mengeluh sekarang.

Aku berkaca di lemari kamar. Wajahku tampak suram, adakah yang mempunyai wajah sesuram ini? Putus cinta sangat berpengaruh besar dalam kecerahan wajahku. Apa sebaiknya aku oplas saja?
Saat aku sedang menjepit hidungku dengan kedua jari agar terlihat mancung. Adikku menyetel sebuah lagu dari radio kamarnya.
“You are beautiful, beautiful, beautiful. Kamu cantik. Cantik. Dari hatimu...”
Lalu adikku ikut bernyanyi sambil memperagakan tarian Cherry Belle di ambang pintu kamarku. “Yu ar, bi-ti-pul, bi-ti-pul, bi-ti-pul. Kamu botak. Botak. Dari hatimu...”
Kurang ajar! Dia pasti sudah melihat pacar baru Lily di Facebook. Aku segera mengejarnya, dia melesat cepat ke lantai satu sambil berteriak ketakutan.
“Mami. Mami. Mami...”

***

Aku menonton konser Depapepe di Istora Senayan sendirian. Dengan kejombloan ini, aku bebas kemanapun tanpa perlu melapor. Sudah begitu, tidak ada SMS yang menganggu telingaku dari alunan gitar akustik dari Miura Takuya dan Tokuoka Yoshinari. Selain berdoa kepada Tuhan, musik juga mampu membuatku tenang.
Setelah konser berakhir dengan sorak penonton. Aku pergi ke foodcourt burger dan menghabiskan big burger sendirian di sana. Selagi aku menikmati lahapan demi lahapan makananku seperti pengemis kelaparan. Aku melihat Pacar lily bersama dengan seorang pria sedang terbahak persis di meja makan di sebelahku. Mereka pun terkadang saling suap dan saling membersihkan sisa makanan di mulut dengan tisu. Ada yang tidak wajar di sana. Ah... mungkin hanya temannya saja. pikir apa aku ini?

Aku menatap langit malam dari beranda. Aku ingin membuangnya dari ingatanku, melupakan setiap bagian dari kenangan kami, tapi selalu gagal, menyedihkan. Samar-samar aku mendengar lagu Cherry Belle lagi dari kamar Adikku.
“You are beautiful, beautiful, beautiful. Kamu cantik. Cantik. Dari hatimu...”
Lalu adikku ikut bernyanyi dengan suara yang jauh dari kata enak.
“Yu ar, bi-ti-pul, bi-ti-pul, bi-ti-pul. Kamu jelek. jelek. Dari rahim ibumu...”
“BERISIK!!”

***

Aku lupa makan pagi jadi siang ini terasa begitu lapar. Selagi aku berjalan di halaman menuju pedagang makanan. Aku berpapasan dengan Lily.
“Aku mau membicarakan sesuatu,” katanya langsung.
Aku membuang muka, “Cepatlah.”
“Kau sekarang dingin sekali,” lirihnya.
“Aku lapar. Kalau tidak penting, aku pergi.”
Lily tampak sulit mengungkapkannya, “Aku dan pria itu sudah putus.”
“Apa itu urusanku? Urusan kita sudah berakhir saat kau meminta putus.”
“Mianhe, aku yang salah. Dia ternyata gay, dia sengaja memanfaatkanku agar orang-orang disekitarnya menganggapnya normal,” jelasnya.
Jadi, dugaan dua hari yang lalu itu benar?
“Pantas saja kami selalu nyambung saat membahas K-Pop. Dia juga mengakui kalau wajahnya itu hasil oplas,” lanjutnya.
Kalau begitu, wajah aslinya pasti tidak lebih baik dariku.
“Lalu?”
“Bisakah kita balikan?”
Aku terdiam sejenak, mengikat kembali benang yang putus itu tidak semudah itu, “Kau tahu? Setelah kita putus, bagiku menata hati tidaklah mudah.”
“Kumohon,” matanya mulai nanar.
“Apalagi kau membuangku, kau pikir aku Kucing? Lalu sekarang, kau memintaku secara tidak langsung untuk menjadi pelampiasanmu.”
Lily menggeleng, “Tidak, bukan begitu. Kau salah.”
“Bersikaplah dewasa, jangan lakukan hal ini pada pria lain.”
Aku beranjak pergi; Lily menangis.
“Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”
Langkah kakiku terhenti, “Benarkah?”
Dia mengangguk cepat. Aku pun tersenyum.
“Kenapa tersenyum?”
“Aku hanya pura-pura kok!” lalu aku menyengir.
“Lee Min Hoo!” Dia tampak tidak senang.
“Tuhkan, mulai lagi.”
Aku memegangi perutku—cacingku semakin ganas. “Aduhh... lapar.”
Lily tersenyum, “Ayo, kita cari makan.”
Lalu kita berjalan ke tempat penjaja makanan.
“Tapi aku lebih suka panggilan itu.” Lily kembali membahas masalah tadi.
“Tidak mau.”
“Lalu kau mau kupanggil apa?”
“Naruto Rikodou.”
“Huh! Dasar kekanak-kanakkan.”

Asalkan jangan menyuruhku oplas, apapun akan kulakukan untuk Lily. Jika dia suka pria yang pintar bernyanyi, aku akan les vokal. Jika dia menyukai pria yang pintar menari, aku akan belajar menari. Tapi jika dia menyukai pria tampan, mungkin aku akan bunuh diri.



Jakarta, !9 Maret 2012

Komentar

  1. aku nggak begitu paham soal cinta-cintaan, tapi kalo ada komedinya gini jadi betah bacanya :)
    bagooossssssssssssssssss..............

    BalasHapus
  2. Bi kamu hr ini udah buat q kya org gila ketawa" liat hp diatas kreta, dan diliat org #hadewhh
    Lee min ho ko botak haha..
    Sumpah ini gokil bngt bi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)