Hanya Aku dan Kucing




Aku kenal seekor makhluk namanya Babon. Dia hanya seekor kucing betina liar, tidak lebih. Kerjaannya tidur, jalan, menjilati anggota tubuhnya, sesekali meminta makanan dengan paksa pada anggota keluargaku. Aku selalu merasa terganggu dengan sikapnya yang sok minta dikasihani. Terkadang matanya lebih nanar daripada seorang pengemis dan itu membuatku luluh juga.
Aku selalu memberinya tulang ikan setiap kali Babon main ke rumah. Tapi akhir-akhir ini dia sering menolak, alasannya mudah, kemarin dia pernah ketulangan sampai mogok makan selama dua hari, sungguh ironi. Karena hal itu, Ibu marah besar padaku dan berniat mengusirku dari rumah. Tapi rasanya tidak adil, aku diusir karena seekor kucing ketulangan?
Aku merasa bersalah dan segera meminta maaf pada Babon. Babon memberikan satu dari empat ‘kakinya’ padaku, berniat bersalaman. Untuk seukuran kucing, dia benar-benar tidak sopan. Lantas aku  mengurungkan niatku untuk meminta maaf.

***

Sebulan kemudian aku dan keluargaku pindah rumah. Aku bahagia bisa lepas dari Babon. Kucing membuat hari-hariku buruk. Apalagi saat kucing itu ber-anak dan aku disuruh mengurusinya. Suatu hari, aku pernah mengusulkan ke Ibu untuk mengolah anak-anak kucing itu menjadi rendang padang, tapi apa? Ibu malah memarahiku. Ibu terlalu berlebihan padahal aku hanya memberi usul.
Awalnya kukira tidak akan bertemu dengan kucing sampai aku lulus SMP, kuliah, kerja lalu menikah dengan Aura Kasih sampai mati. Namun itu hanya perkiraan bocah imut yang polos.
Lagi-lagi seekor Kucing liar datang ke rumahku. Dia mengingatkanku pada Babon. Hanya saja Babon berbulu hitam sementara dia berwarna coklat dengan bintik-bintik hitam di punggungnya.
Kucing itu menunggu di teras rumah meminta jatah, padahal Ibuku belum selesai memasak makanan untuk siang nanti. Mengetahui hal itu, si Kucing berbaring di sofa empuk kami. Dia terlihat sangat santai lantas aku memintanya untuk membantuku mengerjakan PR matematika yang membuatku frustasi, dehidrasi bahkan BAB.
Sehabis memasak, Ibu memberikan tulang ikan bandeng untuk Kucing itu, sementara dagingnya untukku. Aku menatap tak tega ke arah Kucing itu yang sedang memapak tulang. Kasian kalau dia diberi makan tulang, aku takut dia ketulangan seperti halnya Babon.
Ternyata Ibu mendengarkan gumamanku lalu memberikan Kucing itu daging ikan bandeng sementara aku diberi tulangnya. Aku shok kuadrat, yang anak Ibu sebenarnya aku atau Kucing itu? Apa jangan-jangan Kucing itu saudaraku yang tertukar?

***

Kucing akan terus datang ke rumah orang yang memberinya makan, hal ini bisa disebut sebagai rumus Kucing. Begitulah dengan Kucing berbulu coklat itu, saking seringnya kucing itu main ke rumah, Ibu sampai memberinya sebuah nama, Karenina. Iya, nama yang berlebihan hanya untuk seekor Kucing. Sedangkan untukku? Ibu memberikan nama asalnya bukan main.
Kebencianku pada Karenina semakin menjadi-jadi. Aku selalu mengusirnya setiap kali dia mencoba masuk dari celah pagar setinggi dua meter. Aku mengambil sapu mengelitik-gelitik telinganya, hal itu sukses membuat Karenina malas masuk ke rumahku lagi.
Tapi rupanya Karenina tidak mau menyerah, dia naik lalu loncat dari gerbang rumahku. Loncatan maut itu mungkin akan membuatnya encok, kesemutan, bisulan, pegal-pegal. Tapi keliatannya dia terlihat baik-baik saja. Disisi lain aku tidak mau kalah, aku mengambil segayung air dari kamar mandi dan….
BYUUURRRR!!!
Segayung air sukses mengguyur punggungnya, Karenina segera menyibak-nyibakkan bulunya. Dalam keadaan slow motion dia terlihat menggoda, tapi tidaakkk!! Aku masih normal dan sekali lagi aku ingatkan dia hanya kucing, kucing betina liar. Kemudian Karenina pergi dengan layu, kecewa, dan rasa kekalahan yang tinggi. Aku yakin sekali sehabis ini dia tidak akan balik lagi. Yeah… seperti harapanku Karenina memang tidak kembali lagi.

***

Kian rasa benciku pada Karenina berubah sayang setelah ketidakmunculannya selama kurang lebih 2 minggu. Saat makan ikan asin aku selalu teringat pada Karenina, rasanya ingin berbagi. Berbagai gejolak fikiran menimpaku, jangan-jangan Karenina ketabrak delman atau dia mati kelaparan di kutub utara.
Beberapa jam setelah itu Karenina datang ke rumahku, aku senang bukan main. Tapi setelah ibu memberitahu jika Karenina sedang mengandung, aku sedikit menjauh. Imajinasiku memuncak, jangan-jangan Karenina datang untuk meminta pertanggung jawabanku. Untuk membuktikannya, Karenina melakukan tes DNA di rumah sakit dan setelah dilihat hasilnya ternyata benar anak yang dikandungnya adalah buah dari perbuatanku. Pada akhirnya aku menikahkannya di KUA. Tidakkkk!! Tidak mungkin!!

***

Sehabis membeli bakso, aku melihat Karenina sedang berbaring miring ditemani suaminya yang juga seekor kucing tampak frustasi, napas Karenina memburu. Karenina pasti ingin melahirkan. Kasian sekali kalau Karenina harus melahirkan di pinggir gang seperti ini. Apa suaminya tidak punya uang untuk mengajak Karenina bersalin di bidan? Jadi untuk apa suaminya tidak pulang 3 kali puasa 3 kali lebaran?
Aku acuhkan mereka karena tidak ingin bakso yang baru kubeli jadi dingin. Mereka juga tidak menyapaku jadi buat apa menolong kucing yang tidak ramah padaku?
Sehabis makan bakso aku terus teringang wajah Karenina. Aku berfikir, apa mungkin bakso yang kumakan tadi berasal dari daging kucing? Tidak! Tidak! Jika begitu, bagaimana dengan nasib kucing semacam Babon dan yang lainnya.

Malam hari aku masih tidak tenang, aku khawatir Karenina gagal melahirkan, mungkin akan lebih baik jika disesar. Aku berniat mengambil pisau bekas memotong bawang merah untuk menolong Karenina. Tapi Ibu segera mencegahnya. Kenapa sih setiap kali aku ingin berbuat baik Ibu selalu melarang? Ya sudahlah!
Aku benar-benar plin plan, saat Karenina ada aku mengacuhkannya. Tapi saat Karenina tidak ada, aku malah merindukannya. Lebih baik aku tidur kalau begini!

***

Keesokan harinya, Ibu menyuruhku untuk menyirami tanaman. Di halaman rumah kami hanya ada pohon sirih yang menjalar ke pagar. Akhir-akhir ini Ayah sering batuk, berobatpun mahal, jadi Ibu sengaja menanam pohon sirih untuk persediaan setahun.
Ibuku pintar memasak, apapun diolahnya menjadi masakan lezat. Pernah, tukang sayur tidak berjualan. Makan pagi, siang, sore hanya dengan telur telur dan telur. Aku melapor pada Ibu jika bisulan. Ibu terlihat tidak tega dan memetik beberapa helai daun sirih kemudian disayurnya. Maaf bu! Tapi sepertinya Ibu kehabisan ide untuk mengolah masakan.

Aku beranjak menuju keran untuk mengisi air di dalam ember yang kosong. Kepalaku menoleh ke kanan dan kutemukan Karenina berbaring lemas dengan 3 ekor kucing kecil mengerubuti puting susunya. Sedangkan suaminya lagi-lagi tidak ada di tempat, sungguh kejam. Kalau jadi Karenina, aku pasti sudah menceraikan suami seperti itu dari dulu.
Takut-takut Karenina kabur, pelan-pelan aku mendekatinya. Anak-anaknya mirip dengan Karenina. Aku menyimak baik-baik mereka yang lucu-lucu. Aku berfikir, mungkin akan memelihara mereka dan mudah-mudahan aku membuat mereka betah di rumahku.

***

            Dua bulan berlalu, anak Karenina tumbuh menjadi kucing-kucing yang aktif. Mereka selalu menjadikan kolong tempat tidurku sebagai markas persembunyian setiap kali aku menyuruh mereka mandi di subuh-subuh. Aku benar-benar kewalahan mengurusi mereka sendiri, tapi balik lagi, dulu aku pernah berjanji untuk menjaga mereka sampai mati.
            Akulah yang memberi nama ketiga anak Karenina. Meskipun aneh, tapi itu adalah hasil pemikiranku sendiri dan seharusnya aku bangga dengan hal itu.
Yang pertama bernama Maichi, bulunya berwarna hitam dengan bintik-bintik coklat tak merata pada punggungnya. Maichi suka tidur terlentang seperti Ayah. Wajahnya sangat galak karena itu kuberi nama Maichi.
Yang kedua bernama Maicha, dia adiknya Maichi. Bulunya putih dengan bentol-bentol hitam di punggungnya. Hobinya menggangguku, aku pernah hampir mengusirnya karena berani merobek-robek PR matematikaku dan akibatnya aku dihukum guru membersihkan toilet sekolah.
            Yang ketiga bernama Makipah, dia adik kedua Maichi. Bulunya hitam dengan bentol-bentol kecoklatan. Berbeda dengan Kakak-kakaknya, Makipah sangat pendiam. Kukira dia gagu tapi ternyata tidak.
Huh...sekarang aku benar-benar seperti pengasuh bayi. Dan inilah aku dan kucing-kucingku.


Jakarta, 29 Desember 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Meraihmu

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)