Gennie




Perlahan, Nenek Mine membuka pintu ruang bawah tanah hingga berdenyit. Jin—berkulit biru langit itu, mengambang membelakanginya. Jinno begitu serius menonton tayangan kehidupan manusia dari sebuah cermin kehidupan berbingkai putih, hingga tak menyadari kehadiran Nenek Mine. Kadang Jinno melonjak histeris, tertawa dan mengeluh ketika seorang manusia tidak kunjung berhasil mendapatkan apa yang didapatnya. Hal itu membuat Nenek Mine khawatir dengan kondisi kejiwaan Jinno.
“Kau sedang apa, Jinno?” Nenek Mine mendekat, gema parau Nenek Mine menggelitik daun telinga cucunya. Namun, Jinno malah menopang dagu tanpa menjawab pertanyaan. “Kau sedang apa, JINNO?” Nene Mine berteriak mengulangi pertanyaannya.
Jinno masih diam, airmukanya menunjukkan kemalasan luar biasa, “Jinno sedang mengamati tingkah laku manusia, NENEK MINE!!” Jinno meninggikan suaranya geram.
“APAA? DASAR TIDAK SOPAN!!” teriak Nenek Mine tak kalah kencang.
Jinno mengorek telinganya dengan kelingking, karena berdengung, “Nenek urusi saja cucu yang lain!”
“Cucu Nenek hanya kau seorang!”
Jinno semakin menekuk wajahnya, dari dulu kepikunan Nene Mine tidak pernah berkurang batinnya. Jelas-jelas kemarin Nenek Mine sedang bercanda dengan Al Va, cucunya yang lain.
“Aku jadi ingin turun ke bumi,” gumam Jinno.
“Ha? Apa? Kau bicara apa?” Nenek Mine mengerenyitkan dahi sambil mendekatkan telinganya ke mulut Jinno. Jinno mendesah, selain pikun Nenek Mine juga tuli.
“JINNO INGIN TURUN KE BUMI!!” Jinno berteriak hingga menggema tapi Nenek Mine masih tidak bisa mendengarnya.
“Kau mau pup? Kau sudah besar Jinno, seharusnya kau bisa melakukannya sendiri,” oceh Nene Mine. Jinno kini terlihat lelah menanggapi ucapan Nenek Mine.
Jinno pun meninggalkan Nenek Mine dan pergi ke ujung dunia Jin—dilihatnya ke bawah, pantulan cahaya kebiruan dan warna Zamrud bumi sungguh menghipnotisnya untuk segera berteleportasi. Jinno hanya ingin membantu manusia-manusia yang tak pernah puas itu. Sebenarnya Jinno ingin melakukannya dari dulu, tapi selalu dilarang Nenek Mine—dengan alasan belum cukup umur, klasik. Sekarang Nene Mine sudah tua dan tidak bisa banyak bergerak, jadi Jinno memanfaatkan kesempatan ini untuk pergi ke bumi.
“Satu dua,” Jinno menghitung mundur sebelum ia benar-benar meninggalkan negrinya. “Tiga,” pada hitungan itu Jinno sudah lenyap dari tempatnya.
“Bohong! Jika aku bisa tertawa saat seseorang yang kucintai diambil oleh seseorang,” gerutu seorang Pria di depan cermin toilet kampus yang kotor. Si Pria lalu menyentuh setiap lekukkan coretan iseng mahasiswa yang terlukis di cermin. Meskipun begitu, masih tidak dapat menutupi keburukan wajahnya. Ia tak pernah bersyukur, malah berpikir lebih baik mati.
Jinno mendarat dengan mulus di tempat itu. Sejurus kemudian, Jinno mengereyitkan dahi jijik melihat tempat pendaratannya yang begitu buruk dan tak layak dilihat.
“Toilet? Aku sedang tidak ingin pup,” batinnya Jinno.
“Apa aku begitu buruk jadi tidak ada wanita yang mau?” gumam Pria itu lagi. Melepas sentuhannya di cermin lalu memutar-mutar tubuh besarnya seberat 100 kilogram.
Jinno melihat pria di depannya. Ia ingat pernah menyaksikannya di cermin kehidupan. Pria itu adalah lelaki pengeluh dan pesimis—hidupnya sangat sengsara. Padahal setahu Jinno, Pria itu anak orang kaya. Tapi ia tidak pernah puas, selalu iri. Apalagi saat mengetahui dirinya masih menjomblo hingga kini. Padahal ia hanya perlu bersyukur kalau ingin bahagia.
Si Pria kemudian membasuh wajahnya dengan air keran. Ia segera pergi dari toilet—tidak ingin menambah kepesimisannya karena memandang wajahnya terlalu lama. Jinno mengekornya sambil memasang wajah jijik pada toilet itu, akhirnya Jinno keluar juga.
Setiap Mahasiswa yang berpapasan di lorong kampus dengan Pria itu menatapnya negatif seakan ia seorang pembunuh. Ia hanya menunduk, berharap mereka lenyap meskipun kenyataannya tidak. Tanpa sengaja, Pria itu melihat Wanita idamannya di depan pintu kampus, sontak hal itu membuat langkahnya terhenti untuk menikmati setiap lekuk senyum lesung pipit khas Wanita itu. Namun, Wanita itu tak balas menatapnya, ada seorang Pria menggandeng tangannya. Hal itu membuat wajah Pria itu layu. Pipinya yang seperti balon digembungkan. Jinno dengan iseng mengikuti ekspresi Pria itu. Mereka seperti anak kembar sekarang.
“Andai saja dia jadi milikku,” harap Pria itu dengan nanar.
Jinno terkesiap, ia mengerti yang mesti dilakukannya sekarang. Dengan satu kali jentikkan jari, kehidupan dan keadaan berubah. Wanita itu kini berada dalam gandengannya. Pria itu berjalan dengan percaya diri di lorong kampus, orang-orang dengan ramah menyapanya. Sementara Wanita itu pun tak luput mengucapkan kata sayang padanya. Si Pria tersenyum bahagia begitupun Jinno.
“Nah! Sekarang kau akan bahagia.” Jinno mendoakannya lalu menghilang.
Di hari yang sama, Jinno mendarat di sebuah kamar bercat merah muda, puluhan boneka Barbie terjejer rapi di dua buah rak kayu coklat. Bed cover yang nyaman, TV beserta DVD bermerek dan AC.
Jinno menganga lebar sambil membatin, “Jadi untuk apa aku ke rumah ini? Hidup orang ini sepertinya sudah sempurna.”
“Nina makan!”
“Tidak mau! Masakan Ibu tidak enak!”
“Seharusnya kau berterima kasih karena ibu masakan. Tidak seperti—“
BRAKKK!! Bocah perempuan itu membanting pintu, membuat suara Ibunya tak terdengar lagi. Ia begitu benci pada Ibunya sampai melampiaskannya pada seluruh perabotannya, layaknya kera yang sedang mencari pisang tapi tidak dapat.
“Masih kecil anak itu sudah frustasi,”  gerutu Jinno kesal.
“Aku tidak suka ibu! Aku benci! Ibu jahat! Andai saja aku bisa dapat Ibu yang tidak cerewet sepertimu!!” teriaknya sambil mengacak-ngacak koleksi Barbienya.
Lagi-lagi Jinno mendengarkan permintaan seseorang, dengan satu jentikkan jari Jinno mengabulkannya.
Keesokannya, Papa Bocah itu pulang dari dinas luar kota. Papanya membawa seorang wanita cantik, seksi dan lembut. Si Bocah tertawa saat mendengar wanita itu menyapanya dengan ramah. Seminggu kemudian, Papanya menikah dengan wanita itu. Bocah itu pun mendapatkan kebahagiaannya.
Jinno senang telah mengabulkan permintaan dua orang. Sekarang jinno mendarat di sebuah ruangan kantor elektronik bagian pemasaran. Di hadapannya, terdapat seorang Wanita tampak frustasi dengan semua dokumen yang menumpuk di samping PC-nya. Di tengah itu, tiba-tiba saja pimpinannya datang dengan wajah garang sambil melempar sebuah berkas ke wajahnya.
“Kamu tidak tau kalau saya membutuhkan target lebih dari ini? Kerjamu apa saja? hah?!!” bentak atasannya. Wanita itu menunduk ketakutan. “Kerjakan dengan benar! Kalau kamu tidak mau dipecat!” pekik atasannya sebagai peringatan terakhir untuknya.
Atasannya segera pergi dengan begis, sedangkan Wanita itu menatapi punggungnya hingga tak terlihat di pelupuk mata lagi dengan dendam yang berapi.
“Andai saja aku jadi dia,” harap Wanita itu.
Seperti kemarin-kemarin, dengan satu jentikan jari Jinno berhasil mengabulkannya. Kini wanita itu duduk di kursi kehormatan sebagai kepala divisi pemasaran. Wanita itu bahagia melihat ruangannya yang besar penuh dengan fasilitas lengkap. Akhirnya Wanita itu mendapat kebahagiaannya juga.

***

Beberapa minggu kemudian Jinno kembali ke dunia jin. Belum sempat bernapas, Jinno dicegat oleh Nenek Mine, Junno dan Jinni di depan gerbang raksasa.
“Sudah kubilang jangan campuri hidup manusia, Jinno!!” omel Nenek Mine.
“Jinno membantu mereka dan mereka senang,” sahut Jinno santai sambil menyelusup masuk di antara mereka yang terjejer rapi di depan gerbang.
“Lantas setelah membantu manusia kau ke mana saja?” Jinni berbalik badan.
Jinno terhenti dan berbalik sambil tersenyum bodoh, “Aku keliling dunia. Ternyata dunia sudah berubah banyak. Panas dan berdosa,” jawab Jinno.
“Kau peduli pada mereka?” singgung Junno dengan sikap menantang.
“Tentu saja!” tegas Jinno.
“Kalau begitu, kenapa tidak tinggal di sana sampai mereka menuju puncak kepuasan?” sahut Junno.
“Jinno, karena kau! Para manusia yang kau bantu malah berubah sengsara,” tambah Jinni.
“Tidak mungkin! Aku mengabulkan hal yang paling mereka inginkan!” tampik Jinno.
“Kalau tidak percaya, mari kutunjukkan sesuatu,” ajak Jinni.
Mareka mengajak Jinno masuk ke dalam ruangan yang hanya dihuni oleh cermin kehidupan selebar dua meter bersandar di dinding hitam pekat yang sering dikunjungi Jinno saat bosan. Jinni menjentikkan jarinya ke arah cermin yang kini berwujud layaknya layar film. Pertama, Junno menayangkan kisah seorang pria buruk rupa yang selalu mengeluh yang pernah di tolong Jinno sambil menarasikannya.
“Setelah dua bulan bersama dengan wanita yang diidamkannya, baru diketahui kalau si Wanita mempunyai penyakit kanker hati. Tak berapa lama setelah mendengar kabar itu, si wanita meninggal. Kepergian wanita itu membawa dampak besar bagi kehidupannya. Ia tidak siap akan kepergian setelah pertemuan yang singkat. Akibatnya, si Pria frustasi. Kehidupannya semakin memburuk karena batinnya terkejut menerima kenyataan pahit itu. Di kampus, ia lebih sering melamun, bersedih dan menjadi anak penyendiri. Meskipun sekarang temannya lebih banyak karena kekasihnya adalah orang yang ramah. Kejadian yang lebih parah saat si Pria naik ke lantai enam belas berniat bunuh diri, namun hal itu dicegah teman-temannya. Setiap waktu, si Pria selalu menyesali pertemuannya dengan wanita itu, dia berfikir ‘akan lebih baik dulu ia tidak mengenalnya’, begitukah?”.
Jinno terkejut bukan main.
“Yang kedua adalah seorang bocah berumur delapan tahun. Kau memberikan anak itu ibu baru bukan?” singgung Junno.
“Apa yang terjadi pada anak itu?” tanya Jinno agak takut.
“Kau memberinya ibu yang cantik dan lembut, tapi apakah kau tahu jika kelembutannya hanya ada saat Papanya bersamanya. Setelah itu si Bocah dibiarkan kelaparan dan tidur di gudang. Apalagi setelah ia mendapatkan adik tiri, si Bocah semakin dikucilkan bersama Ibu kandungnya yang dulu dianggapnya jahat.”
Jinno menggelengkan kepala menyesali.
“Dan yang ketiga adalah wanita karir yang kau berikan jabatan tinggi. Karena jabatannya terlalu tinggi, ia berubah sombong, angkuh, keras dan seenaknya. Ada seorang karyawan yang sering dibentaknya, dan karyawan itu menyimpan dendam. Lantas ia mengirimkan sebuah paket bom ke rumah wanita itu. Alhasil, si wanita beserta keluarganya tewas di dalam rumah yang ikut hancur.”
Mendengar semua kenyataan itu membuat Jinno lemas, maka ia pun bersandar pada Jinni.
“Penyesalan selalu datang diakhir, Jinno!” nasihat Nenek Mine.
“Alasan Tuhan tidak mengabulkan semua permintaan manusia agar Tuhan tetap menjadikan manusia itu tidak sempurna. Tidaklah benar bagi-NYA memberikan wanita sempurna untuk seorang Pria yang tidak bisa menerima kenyataan saat tiba-tiba wanita itu diambil darinya. Tidaklah benar bagi-NYA memberikan ibu yang lain selain Ibu kandung, karena yang terbaik dari semua Ibu adalah Ibu kandung. Tidaklah benar bagi-NYA memberikan jabatan yang tinggi sementara sang makhluk masih mempunyai sikap tinggi hati, ” jelas Junno.
Jinni menambahkan, “Manusia itu banyak maunya saat diberi semuanya tangannya tidak sepenuhnya mengadah dengan benar. Sehingga apa yang diberikan tercecer keluar dan tidak dapat mengatasinya sendiri.”
“Dengarkan kedua kakakmu, Jinno!” pekik Nene Mine.
“Kami ayah dan ibu Jinno, Ibu Mine,” jelas Jinni, Ibu Jinno.
“Eh! Sejak kapan kalian menikah?” tanya Nenek Mine polos.

Junno dan Jinni menunduk lemas, mereka sepertinya sudah menyerah menangani masalah kepikunan Nene Mine. Sementara Jinno masih meratapi kesalahannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Meraihmu

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)