Himitsu




“Kurumi Sawajiri memerankan peran protagonis untuk lima adegan di film Pain Love. Ia berakting natural. Netizen memuji bakatnya dan industri perfilman seharusnya tak membuangnya.” Sehabis membaca tabloid Dynamite edisi 7, Kurumi melemparnya ke wajah Managernya, Haru. “Sampah!” mengumpatnya tak berpendidikan.
Pria kepala tiga itu menahan perih dan kemurkaan. Haru—manager, lebih tua 5 tahun, diam seakan patung. Itu penganiayaan. Kurumi bisa dijatuhi hukuman. Sudahlah, jangan coba-coba atau Kurumi akan melemparinya dengan benda yang lebih padat. Yah… anggap saja hidup di Tokyo itu tak mudah.
“Apa yang salah dari ini?”
Kurumi menunjuk foto di tabloid itu, “Kenapa wajahku berminyak? Mataku kecil dan bibirku kering. Siapa yang mengambil gambar? Aku akan memecatnya,” jawabnya tegas.
“Kau hanya artis, Kurumi.”
“Jadi, artis tak boleh memecat?”
“Kau selalu saja tidak puas dengan fotomu.”
“Kadang aku juga senang melemparnya ke wajahmu.”
“Itukan fotomu.”
“Kalau kubilang buruk, tetap buruk. Ini tak sama dengan orang yang mengatakan aku cantik di depan namun beda saat di belakang.” Kurumi tak bosan membuat telinga Haru panas. “Aku hidup untuk menindas orang sepertimu!” mulutnya tajam bagai belati yang dipakai untuk ritual harakiri. Hebatnya Haru bisa bertahan selama dua tahun. Pasti ada alasan dari kesetiaan itu.
“Ceritanya akan lain bila kau jadi ketua redaksinya. Ini hanya tabloid kecil, kuyakin sebulan lagi mereka bangkrut.”
Kurumi mendesah, mengabaikan Haru. “Kau ada vodka? Aku masih punya banyak tabloid yang perlu kukomentari.”
Pria berjas abu-abu rapi itu mengacak-acak poni rapatnya. Ia pergi ke bar kecil di samping ruang tamu untuk mengambil vodka. Hanya sisa satu botol, ia mendesah lagi. Hidup di apartemen sendirian membuat Kurumi boros. Haru sadar, sebenarnya ia itu manager atau pembantu?
“Seharusnya kau jadi kritikus,” gumamnya sambil menuangkan vodka ke dalam gelas bundar besar dengan es batu seukuran bola tenis.
Wajah Haru kaku, mengingat awal pertemuannya dengan Kurumi sebagai manager baru. Haru masih culun dan gugupan. Baru sehari bekerja, ia ditugaskan mengantar Kurumi ke stasiun televisi di tengah salju lebat.
Hari itu, di jalan serupa. Seorang Pria memakai mantel krem menunggu lampu merah menyala. Beberapa meter lagi, ia akan sampai ke gedung stasiun televisi di mana Kurumi mengisi acara talkshow. Ia sudah berjanji pada seseorang, bila ini adalah kali terakhir melihat wanita itu. Senyumnya mengembang, menandakan lampu merah telah memperbolehkannya menyebrang. Untuk tiga langkah selanjutnya, senyum itu padam dibinasakan oleh sebuah van. Pria itu terpental sepuluh meter. Sedang van itu sempat berputar tiga kali karena jalanan begitu licin. Merasa beruntung selamat dari maut, sang pengendara turun bersama dengan penumpang di kursi sebelah. Mereka yang mempunyai ekspresi kaget itu adalah Kurumi dan Haru.
Orang-orang di trotoar berkumpul menyelamatkan Pria itu. Dua polisi patroli menghampiri mereka dan meminta keterangan. Kurumi berusaha tenang sambil sesekali melihat Haru gemetaran. Ia masih baru, tapi begitu sial.
“Siapa dari kalian yang bertanggung jawab?” tanya salah satu polisi patroli.
“Aku!” Kurumi dengan kerennya mengaku.
Haru kaget, “Sawajiri-san.”
Dengan santainya Kurumi bertanya, “Apa aku akan di penjara?”
“Mari ikut kami.”
Kedua polisi patroli itu membawa Kurumi. Haru tak mendapatkan kata yang tepat untuk ini. Kurumi tak tampak seperti Kurumi. Ia begitu tegas lewat tatapan karismatik. Kurumi seakan pahlawan yang menancapkan bendera kemerdekaan di kaki Haru agar berhenti bergetar.
Diadili dengan cepat, Kurumi dijatuhi hukuman enam bulan dan denda satu juta yen. Media tak percaya, lantas Kurumi dituduh menyuap. Kurumi tak peduli, membiarkan media memberitakan sesukanya.
Enam bulan kemudian, Kurumi bilang pada Haru, “Kau harus mengabdikan dirimu padaku selama sisa hidupmu. Serahkan jiwamu. Bila kau pergi, kukutuk kau!” adalah alasan Haru bertahan dengannya.
Kurumi kembali bangkit dalam tiga bulan. Meski penggemarnya berkurang, ia tahu caranya memulai. Meski ditinggalkan sendirian di gunung penuh monster, Haru rasa Kurumi akan pulang utuh.
“Haru!”
Lamunan Haru pecah seketika.
“Kau tahu siapa artis baru yang bermain di film Fake Star?” Kurumi mengganti channel televisi berkali-kali, tampak bosan.
“Iya.”
“Ia meniru dandananku. Bagaimana cara menghancurkannya, ya?”
Haru harus kagum pada Kurumi atau tidak? Bila melihat sifat kejinya muncul.
Bel apartemen berbunyi, Haru memberikan segelas vodka terlebih dahulu pada Kurumi lalu memastikan tamunya lewat intercom.
“Kau siapa?”
Tampak Pria berambut hitam klimis dengan dahi berkerut menjawab, “Aku wartawan dari Dynamite. Apa aku bisa mendapatkan jawaban dari beberapa pertanyaanku?”
Haru menoleh ke arah Kurumi, “Bagaimana?”
“Ia tahu waktu kematiannya,” lalu Kurumi meneguk vodkanya.
Seseuai perintah, Haru membuka pintu. Wartawan yang rajin mengumbar giginya itu begitu senang diizinkan masuk.
“Kuharap kau tidak membangunkan godzila yang sedang mencari makan,” pesan Haru.
Alis wartawan itu bertaut, godzila? Kurumi bukan kanibal, kan? Tanpa menanyakan maksud perkataan Haru, wartawan dengan nametack yang menambah informasi lewat fotonya bahwa ia total culun, segera menghampiri Kurumi.
“Hai, Kurumi. Namaku Sagara Koisuke, wartawan dari Dynamite.” Sagara membungkuk dalam, seolah Kurumi putri mahkota.
“Kau juga yang mengambil gambarku diedisi lima yang rasanya ingin kulemparkan ke wajahmu itu?”
“Iya.”
Haru kagum padanya, ia tetap tersenyum meski dihina. Atau malah ia sedang menahan tangisannya.
“Aku boleh duduk?”
“Tidak.”
“Terima kasih.”
Sagara tidak memedulikan larangan wanita kejam itu dan duduk di seberangnya dengan ekspresi setelah-mendapat-jawaban-maka-ia-akan-mencincang-Kurumi.
Kurumi punya firasat menakutkan dari tatapan itu, “Sebenarnya kau mau apa?”
“Hanya ingin membahas kasus empat belas bulan lalu.”
Kurumi dan Haru terkejut.
“Apa yang kau lakukan sehingga para media menghentikan pemberitaan? Kau menyuap hakim sehingga bisa bebas secepat itu? Untuk mendapatkan peran, kau pasti melakukan sesuatu pada produser, kan? Padahal kau telah membunuh seseorang,” pula Sagara memberondong pertanyaan serius itu dengan senyum.
Firasat Kurumi benar, orang ini seharusnya tidak diterima masuk sejak awal. Kurumi melirik Haru, tubuhnya gemetar seperti kejadian lalu.
“Kalau hancur, hancur sekaligus.” Kurumi menantangnya.
“Bukan begitu, aku ingin mengajak kerjasama.” Sagara mulai tampak bersahabat.
Haru menoleh ke Sagara, “Kerjasama?”
“Sebagai pimpinan redaksi, aku butuh perubahan, butuh artikel menarik untuk tabloidku. Semisal berita tentang kehidupan sehari-hari Kurumi.”
Kurumi membuang muka, berbicara dengan napas pendek, “Aku bangun jam delapan tanpa jam weker. Berendam selama satu jam. Kalau tidak syuting, aku akan tidur seharian atau menghabiskan sepuluh bungkus kripik kentang sambil menonton dorama. Kadang aku hadir di kantor untuk mendengar ceramah penulis skenario karena aku mengubah dialog seenaknya. Tidur, bangun, makan, sikat gigi, lalu tidur lagi. Lebih baik kau mati karena terjun ke laut kedalaman seratus meter, dibandingkan mati kebosanan karena mengikutiku.”
“Bagaimana kalau fiksi? Ada bumbu cerita drama dan kepahlawanan. Seperti menolong pengemis di jalan atau ikut andil dalam kegiatan sosial. Dengan begitu, kuyakin penggemarmu akan bertambah,” ini serius, sewaktu membahasnya, Sagara tampak antusias.
Haru menyilangkan tangan, “Kurumi benci hidup penuh kepalsuan.”
“Kau bodoh jika tidak menyetujuinya,” sindir Sagara.
“Karena aku pintar, maka aku setuju.” Kurumi termakan omongan Sagara.
“Kurumi!” Haru tidak merasa Kurumi sedang berpikiran jernih.
Sagara berdiri, senyumnya melebar. “Senang bekerjasama denganmu.” Sagara kemudian membungkuk. “Untuk selanjutnya aku akan menghubungi managermu, sampai nanti,” lalu pergi.
Haru kehabisan akal. “Kurumi, kau serius?”
“Orang itu selalu tersenyum. Aku benci, giginya besar-besar. Aku sengaja menyetujuinya agar cepat pergi. Kau tangani sendiri, minta bayaran setinggi mungkin sampai dia tidak bisa menelan ludah.”

***

Suatu tengah malam, Kurumi turun dari van-nya, melewati gang sempit, dan mendapati seorang gadis berteriak hendak diperkosa dua pria mabuk. Kurumi datang, segera menghabisi mereka dengan right straigh punch, triple punch dan tendangan mematikan di perut. Kedua pria hidung belang itu tersungkur. Tak ketinggalan, Sagara telah tiba untuk mengambil gambar bagian itu.
“Cut!” pekik Sagara.
Keganasan Kurumi berakhir juga.
“Aaa~~~ lenganku remuk!”
“Bokongku nyaris mati rasa!”
Kedua figuran itu mengalami kondisi serius. Tim redaksi Dynamite menanganinya.
Sagara tersenyum. “Kau terlihat natural, Kurumi.”
Ya… itu cuma akting, tapi serangan itu benar-benar Kurumi lakukan. Kedua figuran itu kapok.
“Sudah selesai? Aku pulang!” Kurumi tidak pernah memedulikan korbannya.

Dihari yang tidak normal lainnya. Kurumi mempersiapkan diri di dalam van. Menebalkan lipstik dan membersihkan mantel bulu dari debu. Setelah dapat kode dari Sagara di luar Van, Kurumi turun lalu mengejar seorang nenek di depan lampu merah yang tampak tertatih membawa karung bawang.
“Nek, mau kubantu?” tawar Kurumi
“Ah… kau baik sekali anak muda.” Nenek itu tersenyum, giginya hitam-hitam.
“Tentu saja, sudah cantik aku juga baik,” gumamnya, tersenyum palsu.
Lalu Kurumi mengangkut sekarung bawang seberat sepuluh kilogram itu ketika lampu merah. Baru dua langkah saja sudah melelahkan, tak terpikirkan bawang saja sebegini berat. Seharusnya ia tak pakai sepatu hak tinggi dan mantel mahal. Penderitaan itu bertambah dengan diharuskannya memasang wajah sukarela sepanjang jalan.
Di depan restoran sushi, Sagara memastikan agar orang-orang yang berlalu lalang menganggap Kurumi berinisiatif menolong. Maka dari itu, ia mengambil gambar secara sembunyi-sembunyi.
Setelah kutukan itu berakhir, Kurumi kembali ke van. Haru dapat menebak nasibnya. Benar saja, Kurumi membanting pintu lalu melempar mantel bau busuk bawang ke wajah Haru.
“Buang itu ke laut!”

Ada banyak kegiatan lain, seperti menyelamatkan kucing persia di atas pohon cherry hingga t-shirt sutra Kurumi tersobek ranting. Sempurnanya, kerja kerasnya hanya dibayar dengan tepuk tangan anak-anak yang membuat telinganya berdengung. Sementara malamnya, Kurumi terpaksa mengunjungi lansia di panti untuk menyumbangkan sebagian penghasilannya.
Kali pertama Kurumi merasa lelah. Ia membanting diri di sofa. Kaki, tangan, persendian, leher, hati, semua remuk. Di saat begini, ia masih saja teringat wajah buruk Sagara.
“Kalau aku punya ketapel raksasa, sudah kulempar dia ke pulau yang banyak monsternya,” pemikirannya kekanak-kanakkan.
Haru mendengarkan seraya mengambil sebotol air padanya dari lemari pendingin.
“Batalkan kontrak sekarang juga!” perintah Kurumi.
“Kau mampu bayar lima kali lipat? Salah sendiri minta bayaran selangit.”
“Manager yang cerdas itu harus mampu bernegosiasi.”
“Jadi, kau belum cukup punya manager yang rela kau lempari wajahnya tiap hari?”
“Belum.”
Luar biasa, bagi Kurumi harga diri Haru tak lebih dari anak semut.
“Apa kau siap bila ia membongkar masalah itu?” Haru mengingatkan.
Kurumi terdiam sejenak, nanar matanya menuju masa lalu sendu, “Aku tidak peduli lagi.”
Mereka tidak melanjutkan perdebatan, tidak berselera membahasnya. Seorang petugas kebersihan apartemen memencet bel. Haru membukanya, petugas itu memberikan tabloid Dynamite baru yang cover-nya terdapat foto Kurumi.
“Sudah keluar.”
Kurumi membangunkan diri, “Kemarikan!”
Haru memberikannya sambil menahan tawa. Kurumi mengerti cover-nya pasti mengerikan.
“Ku-ru-mi sang pahlawan abad i-ni?” Kurumi mengejanya agak geli, foto yang paling terburuk dipajang, yaitu saat ia menendang bokong sang pemerkosa penuh semangat.
Kurumi pusing, tidak dapat meneruskan membaca. Sambil menutup wajahnya dengan bantal sofa, Kurumi tertawa hingga dirasa cukup untuk jadi gila. Bulu kuduk Haru berdiri, Kurumi yang ini lebih menyeramkan.

***

“Cut!” Sutradara menghentikan akting Kurumi dengan pengeras suara. “Hari ini syutingnya sampai di sini dulu.”
Kurumi bernapas lega, asistennya buru-buru menyelimutinya yang hampir membeku. Syuting di luar ruangan mendadak, sutradara sengaja mengambil pencahayaan natural dari matahari yang tertutupi embun. Tapi ini benar-benar membuatnya hampir mati kedinginan.
“Kurumi-san!” Susumi Ayaka memanggilnya dari dalam limousine, menunjukkan senyum gigi renggangnya. Wanita berkepala empat itu tampak seperti dua puluhan. Tak heran bila ia masih dipakai hingga sekarang.
Kurumi menghampirinya, Ayaka tak pernah seramah ini padanya atau mengizinkannya masuk ke dalam limousine anti bakterinya. Ayaka juga menyediakan wine berumur lima puluh tahun. Kurumi ingin punya limousine juga.
“Aku baca tabloid Dynamite kemarin,” kalimat pembuka Ayaka itu mengejutkan Kurumi. Rasa wine yang mengalir di tenggorokan Kurumi tidak nikmat lagi.
“Aku salut,” lanjutnya.
“Maaf.” Kurumi seperti salah dengar.
“Jarang ada aktris sepertimu. Menjadi terkenal bukan berarti buta pada hal manusiawi. Aku memanggilmu lantas ingin mengajak kerjasama membangun sebuah foundation. Aku ingin kau memimpinnya.”
Bahkan Kurumi mengira akan diejeknya, mendapat kehormatan seperti itu membuatnya jadi orang baik yang diselimuti rasa jahat.
“Senpai, aku tidak bisa melakukannya sekarang. Tapi aku akan pertimbangkannya dengan managerku.”
Ayaka memberi senyum selembut salju, “Terima kasih, Kurumi-chan.”
Pertama kali, Kurumi mengeluarkan senyum seperti orang baik. “Aku permisi.” Benar, senyum itu tulus dari hatinya.
Begitu turun dari limousine, Kurumi melihat Haru sedang kerepotan menahan puluhan orang yang mengaku fans baru Kurumi di depan Van-nya. Mereka membawa poster dan surat yang menyatakan akan menjadi fans Kurumi untuk seribu tahun mendatang.
“Sudah kubilang Kurumi tidak ada di dalam!” pekik Haru.
“Kau tidak bisa membohongi kami! Instingku mengatakan dia ada di dalam.” Seorang Pemimpin fans menimpali.
“Instingmu keliru!”
“Kau itu siapa? Manager, pacar, pengawal atau pembantunya,” yang terakhir sepertinya amat membuat Haru terpukul.
“Itu Kurumi!” fans yang berdiri paling belakang berteriak. Diikuti teriakan yang lain.
Kurumi terkejut mendapat serbuan itu, sementara Haru sudah tenggelam di dalam fans atau malah telah diinjak-injak.
“Aku fans sejatimu Kurumi. Aku tidak akan mengkhianatimu!”
“Kau lebih cantik daripada di televisi.”
“Apa aku bisa mendapatkan tanda tangan di punggung? Aku bersumpah tidak akan mandi.”
Kurumi teringat kejadian tujuh bulan lalu, saat ia memutuskan untuk kembali bermain film setelah keluar dari penjara. Ayahnya menolak mati-matian, lebih baik Kurumi pergi ke Perancis dan meneruskan usaha. Tapi Kurumi bertaruh, jika dalam waktu enam bulan tak berhasil, ia akan berhenti detik itu juga. Kurumi sangat serius waktu itu, sampai-sampai Haru takut melihat matanya. Meski tak ada kerjaan, Kurumi rajin masuk ke kantor. Haru juga membantunya, memohon pada sutradara dan produser agar Kurumi mendapat peran. Usahanya membuahkan hasil, Kurumi diminta menjadi pembawa acara disebuah reality show, namun ratingnya malah menurun drastis. Kurumi tak dipercayai lagi.
Meski begitu, Kurumi tak mau merendah di depan para kru, “Jangan salahkan aku! Acara ini memang murahan. Kau tidak tahu siapa aku? Kurumi Sawajiri. Aku bangkit, kalian jatuh. Rasakan itu!”
Haru tersenyum, saat itulah menurutnya pose Kurumi yang paling imut.
Kurumi sangat aktif, mengambil semua kemungkinan. Menyanyi, belajar salsa, menjadi dubber, mendalami akting dan menjadi presenter dalam waktu tiga bulan. Kurumi akhirnya mendapatkan peran, menjadi gadis tuna wicara di sebuah film pendek dan mendapat sambutan hangat dari kritikus. Ia kembali diterima masyarakat walau sedikit. Dan kini, karena Sagara orang-orang mengelu-elukannya lagi. Kurumi terharu dan menyalami fans barunya.
Sementara Haru menghampirinya terengah-engah, “Mereka wanita, tapi begitu kuat.”
“Kau tahu rumah Sagara?” tanya Kurumi tiba-tiba.
“Hah? Iya.”
“Antar aku ke sana!”
“Untuk apa? Kau akan buat perhitungan?”
Kurumi mengangkat bahu, hanya ia yang tahu akan melakukan apa.

***

Kurumi dan Haru tiba di rumah Sagara bergaya minimalis tradisional. Setelah memencet bel tiga kali, seorang Pria jangkung membukakan pintu dari dalam. Kurumi tak kuasa menahan gemetar kakinya hingga terduduk lemas melihat Isuzu, mantan kekasihnya. Mengetahui Isuzu telah mati, dan kini secara mengejutkan muncul di depannya. Kurumi yakin ini mimpi meski sadar kenyataan. Haru yang menyimpan rahasia kematian Isuzu juga tak sangka bila Isuzu ada di rumah Sagara.
“Siapa?" jelas-jelas ada orang di depannya, Isuzu mencari-cari keberadaan mereka.
Kurumi berusaha berdiri dan mengibaskan tangannya ke mata Isuzu, tak ada reaksi kedipan. Bukankah berarti ia buta? Belum pernah Kurumi sebersalah ini. Ia menutupi tangisnya dengan tangan, tak ingin Isuzu dengar.
“Kami mencari Sagara.” Haru yang akhirnya bicara.
“Kakak sedang keluar, kalau mau menunggu silakan masuk.”
“Kakak?” gumam Haru.
Pantas saja Kurumi benci senyum Sagara, dikarenakan senyum mereka sama.
Isuzu masuk duluan. Haru memapah Kurumi. Kurumi memandang Haru nanar.
“Aku bisa jelaskan sesuatu padamu,” kata Haru, tidak membalas tatapannya.
Mereka masuk ke ruang tamu, sofa krem dan almari kaca berisi foto-foto keluarga Isuzu. Terdapat pula sebuah foto kenangan bersama Kurumi.
“Duduklah, akan kubuatkan sesuatu,” ujar Isuzu.
“Tidak perlu repot-repot,” timpal Haru.
“Jangan takut rasanya akan aneh. Aku cukup terlatih.” Isuzu tersenyum lalu menuju dapur sambil meraba-raba.
Haru dan Kurumi duduk berdampingan, termenung.
“Jadi, selama ini kau tahu apa yang tidak kutahu?” tanya Kurumi.
“Isuzu yang memintaku. Kalian sama, hobinya menyuruhku.”
“Sebelum keberangkatanku ke stasiun televisi, Isuzu meneleponku. Ia ingin menontonku untuk terakhir kali. Aku bahkan sudah melarangnya, tapi ia memaksa. Ia datang sendirian dan aku, maksudku kau, menabraknya. Dan sekarang kusadari ia memang ingin menontonku untuk terakhir kalinya,” jelas Kurumi, airmatanya menetes.
Haru melanjutkan, “Aku pergi menangani Isuzu yang kritis. Para wartawan mengikutiku hingga ke rumah sakit, keluarganya benar-benar ingin menghabisimu. Mereka tahu kau mencampakkannya. Sebelum mereka mengumbar kebusukanmu ke media, Isuzu siuman dan melarang tindakan itu. Ia juga memintaku menyembunyikan rahasia bahwa ia masih hidup. Ia hanya tak ingin, kau semakin membenci dan menjauhinya. Apalagi kini ia buta. Lalu kusampaikan padamu bahwa keluarga Isuzu mencabut tuntutannya karena kerelaan. Sedang para wartawan menduga kau telah menyuap hakim.”
Sagara yang diam-diam menguping di balik dinding ruang tamu ikut shok, akhirnya ia mengetahui kebenaran. Saat mendengar adiknya buta karena Kurumi, Sagara segera pulang ke Tokyo. Ia ingin membalas dendam, tapi Isuzu selalu melarangnya. Isuzu hanya ingin Kurumi menjadi baik dengan cara yang baik. Tanpa sepengetahuan Isuzu, Sagara yang berprofesi sebagai pimpinan redaksi tabloid, membututi Kurumi dan membuat kontrak. Ternyata selama ini ialah yang buta, bukan adiknya.
“Aku datang.” Isuzu membawa baki dengan dua cangkir teh hijau dan camilan. Ia agak kaget mendengar suara tangisan wanita. “Kenapa kau menangis?”
“Ia hanya mengingat seseorang yang telah tiada, orang itu mirip denganmu,” jelas Haru.
“Benarkah?” Isuzu jadi canggung dan buru-buru meletakkan bakinya di atas meja kemudian menggeratak koleksi albumnya di rak samping televisi.
Haru melihat siluet Sagara di dinding, lalu meninggalkan Kurumi untuk bertemu.
Isuzu tersenyum begitu menemukan sebuah album dan memberikannya pada Kurumi. “Kalau sedih, aku selalu mendengar lagunya.”
Di cover album itu terdapat foto Kurumi memakai gaun putih seperti bidadari. Kurumi mengambilnya.
“Meski hanya dua lagu dan penjualannya kurang baik, aku suka suaranya. Seperti gesekan ranting sakura yang sering membangunkanku dari lamunan kesepian.”
“Isuzu-kun,” lirih Kurumi, beranikan diri bicara, “Gomenasai.”
Isuzu terkejut, lewat vokal lembut itu, ia mampu menebak, “Ku-kurumi-chan?” Isuzu meraba-raba wajah Kurumi, lama ia tunggu kehadiran kekasihnya. “Aku sudah memaafkanmu sejak awal, ini bukan salahmu.”
“Bagaimana bisa ada orang sebaik dirimu?” Kurumi lalu memeluknya pelan dan hangat.
“Kurumi, kau adalah es yang hangat.”
Di sisi lain, Haru dan Sagara bersandar di dinding, mendengar percakapan itu.
“Kau bisa membuat kisah cinta antara Isuzu dan Kurumi. Ini akan menarik,” usul Haru.
Sagara menoleh ke Haru pelan, kelopak matanya membesar, “Barusan aku juga berpikiran begitu.”
“Aku akan mengurusi kontraknya.”
“Setengah harga dari kemarin.”
“Itupun kalau wajahku tidak jadi sasaran lemparannya.”

Mereka lalu tertawa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Meraihmu

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)