Himitsu
“Kurumi Sawajiri memerankan peran protagonis untuk lima adegan di film Pain Love. Ia berakting natural. Netizen memuji bakatnya dan industri perfilman seharusnya tak membuangnya.” Sehabis membaca tabloid Dynamite edisi 7, Kurumi melemparnya ke wajah Managernya, Haru. “Sampah!” mengumpatnya tak berpendidikan.
Pria kepala tiga itu
menahan perih dan kemurkaan. Haru—manager, lebih tua 5 tahun, diam seakan
patung. Itu penganiayaan. Kurumi bisa dijatuhi hukuman. Sudahlah, jangan
coba-coba atau Kurumi akan melemparinya dengan benda yang lebih padat. Yah…
anggap saja hidup di Tokyo itu tak mudah.
“Apa yang salah dari
ini?”
Kurumi menunjuk foto di
tabloid itu, “Kenapa wajahku berminyak? Mataku kecil dan bibirku kering. Siapa
yang mengambil gambar? Aku akan memecatnya,” jawabnya tegas.
“Kau hanya artis,
Kurumi.”
“Jadi, artis tak boleh
memecat?”
“Kau selalu saja tidak
puas dengan fotomu.”
“Kadang aku juga senang
melemparnya ke wajahmu.”
“Itukan fotomu.”
“Kalau kubilang buruk,
tetap buruk. Ini tak sama dengan orang yang mengatakan aku cantik di depan namun
beda saat di belakang.” Kurumi tak bosan membuat telinga Haru panas. “Aku hidup
untuk menindas orang sepertimu!” mulutnya tajam bagai belati yang dipakai untuk
ritual harakiri. Hebatnya Haru bisa bertahan selama dua tahun. Pasti ada alasan
dari kesetiaan itu.
“Ceritanya akan lain
bila kau jadi ketua redaksinya. Ini hanya tabloid kecil, kuyakin sebulan lagi
mereka bangkrut.”
Kurumi mendesah,
mengabaikan Haru. “Kau ada vodka? Aku masih punya banyak tabloid yang perlu
kukomentari.”
Pria berjas abu-abu
rapi itu mengacak-acak poni rapatnya. Ia pergi ke bar kecil di samping ruang
tamu untuk mengambil vodka. Hanya sisa satu botol, ia mendesah lagi. Hidup di
apartemen sendirian membuat Kurumi boros. Haru sadar, sebenarnya ia itu manager
atau pembantu?
“Seharusnya kau jadi
kritikus,” gumamnya sambil menuangkan vodka ke dalam gelas bundar besar dengan
es batu seukuran bola tenis.
Wajah Haru kaku,
mengingat awal pertemuannya dengan Kurumi sebagai manager baru. Haru masih culun
dan gugupan. Baru sehari bekerja, ia ditugaskan mengantar Kurumi ke stasiun
televisi di tengah salju lebat.
Hari itu, di jalan
serupa. Seorang Pria memakai mantel krem menunggu lampu merah menyala. Beberapa
meter lagi, ia akan sampai ke gedung stasiun televisi di mana Kurumi mengisi
acara talkshow. Ia sudah berjanji
pada seseorang, bila ini adalah kali terakhir melihat wanita itu. Senyumnya
mengembang, menandakan lampu merah telah memperbolehkannya menyebrang. Untuk tiga
langkah selanjutnya, senyum itu padam dibinasakan oleh sebuah van. Pria itu terpental
sepuluh meter. Sedang van itu sempat berputar tiga kali karena jalanan begitu
licin. Merasa beruntung selamat dari maut, sang pengendara turun bersama dengan
penumpang di kursi sebelah. Mereka yang mempunyai ekspresi kaget itu adalah
Kurumi dan Haru.
Orang-orang di trotoar
berkumpul menyelamatkan Pria itu. Dua polisi patroli menghampiri mereka dan
meminta keterangan. Kurumi berusaha tenang sambil sesekali melihat Haru
gemetaran. Ia masih baru, tapi begitu sial.
“Siapa dari kalian yang
bertanggung jawab?” tanya salah satu polisi patroli.
“Aku!” Kurumi dengan
kerennya mengaku.
Haru kaget,
“Sawajiri-san.”
Dengan santainya Kurumi
bertanya, “Apa aku akan di penjara?”
“Mari ikut kami.”
Kedua polisi patroli itu
membawa Kurumi. Haru tak mendapatkan kata yang tepat untuk ini. Kurumi tak
tampak seperti Kurumi. Ia begitu tegas lewat tatapan karismatik. Kurumi seakan
pahlawan yang menancapkan bendera kemerdekaan di kaki Haru agar berhenti bergetar.
Diadili dengan cepat,
Kurumi dijatuhi hukuman enam bulan dan denda satu juta yen. Media tak percaya, lantas
Kurumi dituduh menyuap. Kurumi tak peduli, membiarkan media memberitakan
sesukanya.
Enam bulan kemudian,
Kurumi bilang pada Haru, “Kau harus mengabdikan dirimu padaku selama sisa
hidupmu. Serahkan jiwamu. Bila kau pergi, kukutuk kau!” adalah alasan Haru
bertahan dengannya.
Kurumi kembali bangkit
dalam tiga bulan. Meski penggemarnya berkurang, ia tahu caranya memulai. Meski
ditinggalkan sendirian di gunung penuh monster, Haru rasa Kurumi akan pulang
utuh.
“Haru!”
Lamunan Haru pecah
seketika.
“Kau tahu siapa artis
baru yang bermain di film Fake Star?”
Kurumi mengganti channel televisi
berkali-kali, tampak bosan.
“Iya.”
“Ia meniru dandananku.
Bagaimana cara menghancurkannya, ya?”
Haru harus kagum pada
Kurumi atau tidak? Bila melihat sifat kejinya muncul.
Bel apartemen berbunyi,
Haru memberikan segelas vodka terlebih dahulu pada Kurumi lalu memastikan
tamunya lewat intercom.
“Kau siapa?”
Tampak Pria berambut
hitam klimis dengan dahi berkerut menjawab, “Aku wartawan dari Dynamite. Apa aku bisa mendapatkan
jawaban dari beberapa pertanyaanku?”
Haru menoleh ke arah
Kurumi, “Bagaimana?”
“Ia tahu waktu
kematiannya,” lalu Kurumi meneguk vodkanya.
Seseuai perintah, Haru
membuka pintu. Wartawan yang rajin mengumbar giginya itu begitu senang
diizinkan masuk.
“Kuharap kau tidak
membangunkan godzila yang sedang mencari makan,” pesan Haru.
Alis wartawan itu bertaut,
godzila? Kurumi bukan kanibal, kan? Tanpa menanyakan maksud perkataan Haru, wartawan
dengan nametack yang menambah
informasi lewat fotonya bahwa ia total culun, segera menghampiri Kurumi.
“Hai, Kurumi. Namaku
Sagara Koisuke, wartawan dari Dynamite.”
Sagara membungkuk dalam, seolah Kurumi putri mahkota.
“Kau juga yang mengambil
gambarku diedisi lima yang rasanya ingin kulemparkan ke wajahmu itu?”
“Iya.”
Haru kagum padanya, ia
tetap tersenyum meski dihina. Atau malah ia sedang menahan tangisannya.
“Aku boleh duduk?”
“Tidak.”
“Terima kasih.”
Sagara tidak
memedulikan larangan wanita kejam itu dan duduk di seberangnya dengan ekspresi
setelah-mendapat-jawaban-maka-ia-akan-mencincang-Kurumi.
Kurumi punya firasat
menakutkan dari tatapan itu, “Sebenarnya kau mau apa?”
“Hanya ingin membahas
kasus empat belas bulan lalu.”
Kurumi dan Haru
terkejut.
“Apa yang kau lakukan
sehingga para media menghentikan pemberitaan? Kau menyuap hakim sehingga bisa
bebas secepat itu? Untuk mendapatkan peran, kau pasti melakukan sesuatu pada
produser, kan? Padahal kau telah membunuh seseorang,” pula Sagara memberondong
pertanyaan serius itu dengan senyum.
Firasat Kurumi benar,
orang ini seharusnya tidak diterima masuk sejak awal. Kurumi melirik Haru,
tubuhnya gemetar seperti kejadian lalu.
“Kalau hancur, hancur
sekaligus.” Kurumi menantangnya.
“Bukan begitu, aku
ingin mengajak kerjasama.” Sagara mulai tampak bersahabat.
Haru menoleh ke Sagara,
“Kerjasama?”
“Sebagai pimpinan
redaksi, aku butuh perubahan, butuh artikel menarik untuk tabloidku. Semisal
berita tentang kehidupan sehari-hari Kurumi.”
Kurumi membuang muka, berbicara
dengan napas pendek, “Aku bangun jam delapan tanpa jam weker. Berendam selama
satu jam. Kalau tidak syuting, aku akan tidur seharian atau menghabiskan
sepuluh bungkus kripik kentang sambil menonton dorama. Kadang aku hadir di
kantor untuk mendengar ceramah penulis skenario karena aku mengubah dialog
seenaknya. Tidur, bangun, makan, sikat gigi, lalu tidur lagi. Lebih baik kau
mati karena terjun ke laut kedalaman seratus meter, dibandingkan mati kebosanan
karena mengikutiku.”
“Bagaimana kalau fiksi?
Ada bumbu cerita drama dan kepahlawanan. Seperti menolong pengemis di jalan
atau ikut andil dalam kegiatan sosial. Dengan begitu, kuyakin penggemarmu akan
bertambah,” ini serius, sewaktu membahasnya, Sagara tampak antusias.
Haru menyilangkan
tangan, “Kurumi benci hidup penuh kepalsuan.”
“Kau bodoh jika tidak
menyetujuinya,” sindir Sagara.
“Karena aku pintar,
maka aku setuju.” Kurumi termakan omongan Sagara.
“Kurumi!” Haru tidak
merasa Kurumi sedang berpikiran jernih.
Sagara berdiri,
senyumnya melebar. “Senang bekerjasama denganmu.” Sagara kemudian membungkuk.
“Untuk selanjutnya aku akan menghubungi managermu, sampai nanti,” lalu pergi.
Haru kehabisan akal.
“Kurumi, kau serius?”
“Orang itu selalu
tersenyum. Aku benci, giginya besar-besar. Aku sengaja menyetujuinya agar cepat
pergi. Kau tangani sendiri, minta bayaran setinggi mungkin sampai dia tidak
bisa menelan ludah.”
***
Suatu tengah malam,
Kurumi turun dari van-nya, melewati gang sempit, dan mendapati seorang gadis berteriak
hendak diperkosa dua pria mabuk. Kurumi datang, segera menghabisi mereka dengan
right straigh punch, triple punch dan
tendangan mematikan di perut. Kedua
pria hidung belang itu tersungkur. Tak ketinggalan, Sagara telah tiba untuk
mengambil gambar bagian itu.
“Cut!” pekik Sagara.
Keganasan Kurumi
berakhir juga.
“Aaa~~~ lenganku
remuk!”
“Bokongku nyaris mati
rasa!”
Kedua figuran itu
mengalami kondisi serius. Tim redaksi Dynamite menanganinya.
Sagara tersenyum. “Kau
terlihat natural, Kurumi.”
Ya… itu cuma akting,
tapi serangan itu benar-benar Kurumi lakukan. Kedua figuran itu kapok.
“Sudah selesai? Aku
pulang!” Kurumi tidak pernah memedulikan korbannya.
Dihari yang tidak
normal lainnya. Kurumi mempersiapkan diri di dalam van. Menebalkan lipstik dan
membersihkan mantel bulu dari debu. Setelah dapat kode dari Sagara di luar Van,
Kurumi turun lalu mengejar seorang nenek di depan lampu merah yang tampak
tertatih membawa karung bawang.
“Nek, mau kubantu?”
tawar Kurumi
“Ah… kau baik sekali
anak muda.” Nenek itu tersenyum, giginya hitam-hitam.
“Tentu saja, sudah
cantik aku juga baik,” gumamnya, tersenyum palsu.
Lalu Kurumi mengangkut
sekarung bawang seberat sepuluh kilogram itu ketika lampu merah. Baru dua langkah
saja sudah melelahkan, tak terpikirkan bawang saja sebegini berat. Seharusnya
ia tak pakai sepatu hak tinggi dan mantel mahal. Penderitaan itu bertambah
dengan diharuskannya memasang wajah sukarela sepanjang jalan.
Di depan restoran sushi,
Sagara memastikan agar orang-orang yang berlalu lalang menganggap Kurumi berinisiatif
menolong. Maka dari itu, ia mengambil gambar secara sembunyi-sembunyi.
Setelah kutukan itu
berakhir, Kurumi kembali ke van. Haru dapat menebak nasibnya. Benar saja,
Kurumi membanting pintu lalu melempar mantel bau busuk bawang ke wajah Haru.
“Buang itu ke laut!”
Ada banyak kegiatan
lain, seperti menyelamatkan kucing persia di atas pohon cherry hingga t-shirt sutra
Kurumi tersobek ranting. Sempurnanya, kerja kerasnya hanya dibayar dengan tepuk
tangan anak-anak yang membuat telinganya berdengung. Sementara malamnya, Kurumi
terpaksa mengunjungi lansia di panti untuk menyumbangkan sebagian
penghasilannya.
Kali pertama Kurumi
merasa lelah. Ia membanting diri di sofa. Kaki, tangan, persendian, leher,
hati, semua remuk. Di saat begini, ia masih saja teringat wajah buruk Sagara.
“Kalau aku punya
ketapel raksasa, sudah kulempar dia ke pulau yang banyak monsternya,” pemikirannya
kekanak-kanakkan.
Haru mendengarkan
seraya mengambil sebotol air padanya dari lemari pendingin.
“Batalkan kontrak sekarang
juga!” perintah Kurumi.
“Kau mampu bayar lima
kali lipat? Salah sendiri minta bayaran selangit.”
“Manager yang cerdas
itu harus mampu bernegosiasi.”
“Jadi, kau belum cukup
punya manager yang rela kau lempari wajahnya tiap hari?”
“Belum.”
Luar biasa, bagi Kurumi
harga diri Haru tak lebih dari anak semut.
“Apa kau siap bila ia
membongkar masalah itu?” Haru mengingatkan.
Kurumi terdiam sejenak,
nanar matanya menuju masa lalu sendu, “Aku tidak peduli lagi.”
Mereka tidak
melanjutkan perdebatan, tidak berselera membahasnya. Seorang petugas kebersihan
apartemen memencet bel. Haru membukanya, petugas itu memberikan tabloid Dynamite
baru yang cover-nya terdapat foto
Kurumi.
“Sudah keluar.”
Kurumi membangunkan
diri, “Kemarikan!”
Haru memberikannya
sambil menahan tawa. Kurumi mengerti cover-nya
pasti mengerikan.
“Ku-ru-mi sang pahlawan
abad i-ni?” Kurumi mengejanya agak geli, foto yang paling terburuk dipajang,
yaitu saat ia menendang bokong sang pemerkosa penuh semangat.
Kurumi pusing, tidak
dapat meneruskan membaca. Sambil menutup wajahnya dengan bantal sofa, Kurumi
tertawa hingga dirasa cukup untuk jadi gila. Bulu kuduk Haru berdiri, Kurumi
yang ini lebih menyeramkan.
***
“Cut!” Sutradara
menghentikan akting Kurumi dengan pengeras suara. “Hari ini syutingnya sampai
di sini dulu.”
Kurumi bernapas lega,
asistennya buru-buru menyelimutinya yang hampir membeku. Syuting di luar
ruangan mendadak, sutradara sengaja mengambil pencahayaan natural dari matahari
yang tertutupi embun. Tapi ini benar-benar membuatnya hampir mati kedinginan.
“Kurumi-san!” Susumi
Ayaka memanggilnya dari dalam limousine, menunjukkan senyum gigi renggangnya.
Wanita berkepala empat itu tampak seperti dua puluhan. Tak heran bila ia masih
dipakai hingga sekarang.
Kurumi menghampirinya,
Ayaka tak pernah seramah ini padanya atau mengizinkannya masuk ke dalam
limousine anti bakterinya. Ayaka juga menyediakan wine berumur lima puluh
tahun. Kurumi ingin punya limousine juga.
“Aku baca tabloid Dynamite
kemarin,” kalimat pembuka Ayaka itu mengejutkan Kurumi. Rasa wine yang mengalir
di tenggorokan Kurumi tidak nikmat lagi.
“Aku salut,” lanjutnya.
“Maaf.” Kurumi seperti
salah dengar.
“Jarang ada aktris
sepertimu. Menjadi terkenal bukan berarti buta pada hal manusiawi. Aku memanggilmu
lantas ingin mengajak kerjasama membangun sebuah foundation. Aku ingin kau memimpinnya.”
Bahkan Kurumi mengira
akan diejeknya, mendapat kehormatan seperti itu membuatnya jadi orang baik yang
diselimuti rasa jahat.
“Senpai, aku tidak bisa
melakukannya sekarang. Tapi aku akan pertimbangkannya dengan managerku.”
Ayaka memberi senyum
selembut salju, “Terima kasih, Kurumi-chan.”
Pertama kali, Kurumi
mengeluarkan senyum seperti orang baik. “Aku permisi.” Benar, senyum itu tulus
dari hatinya.
Begitu turun dari
limousine, Kurumi melihat Haru sedang kerepotan menahan puluhan orang yang
mengaku fans baru Kurumi di depan Van-nya. Mereka membawa poster dan surat yang
menyatakan akan menjadi fans Kurumi untuk seribu tahun mendatang.
“Sudah kubilang Kurumi
tidak ada di dalam!” pekik Haru.
“Kau tidak bisa
membohongi kami! Instingku mengatakan dia ada di dalam.” Seorang Pemimpin fans
menimpali.
“Instingmu keliru!”
“Kau itu siapa?
Manager, pacar, pengawal atau pembantunya,” yang terakhir sepertinya amat membuat
Haru terpukul.
“Itu Kurumi!” fans yang
berdiri paling belakang berteriak. Diikuti teriakan yang lain.
Kurumi terkejut
mendapat serbuan itu, sementara Haru sudah tenggelam di dalam fans atau malah
telah diinjak-injak.
“Aku fans sejatimu
Kurumi. Aku tidak akan mengkhianatimu!”
“Kau lebih cantik daripada
di televisi.”
“Apa aku bisa
mendapatkan tanda tangan di punggung? Aku bersumpah tidak akan mandi.”
Kurumi teringat
kejadian tujuh bulan lalu, saat ia memutuskan untuk kembali bermain film
setelah keluar dari penjara. Ayahnya menolak mati-matian, lebih baik Kurumi
pergi ke Perancis dan meneruskan usaha. Tapi Kurumi bertaruh, jika dalam waktu
enam bulan tak berhasil, ia akan berhenti detik itu juga. Kurumi sangat serius
waktu itu, sampai-sampai Haru takut melihat matanya. Meski tak ada kerjaan,
Kurumi rajin masuk ke kantor. Haru juga membantunya, memohon pada sutradara dan
produser agar Kurumi mendapat peran. Usahanya membuahkan hasil, Kurumi diminta
menjadi pembawa acara disebuah reality
show, namun ratingnya malah menurun drastis. Kurumi tak dipercayai lagi.
Meski begitu, Kurumi
tak mau merendah di depan para kru, “Jangan salahkan aku! Acara ini memang
murahan. Kau tidak tahu siapa aku? Kurumi Sawajiri. Aku bangkit, kalian jatuh.
Rasakan itu!”
Haru tersenyum, saat
itulah menurutnya pose Kurumi yang paling imut.
Kurumi sangat aktif, mengambil
semua kemungkinan. Menyanyi, belajar salsa, menjadi dubber, mendalami akting
dan menjadi presenter dalam waktu tiga bulan. Kurumi akhirnya mendapatkan peran,
menjadi gadis tuna wicara di sebuah film pendek dan mendapat sambutan hangat
dari kritikus. Ia kembali diterima masyarakat walau sedikit. Dan kini, karena
Sagara orang-orang mengelu-elukannya lagi. Kurumi terharu dan menyalami fans
barunya.
Sementara Haru menghampirinya
terengah-engah, “Mereka wanita, tapi begitu kuat.”
“Kau tahu rumah
Sagara?” tanya Kurumi tiba-tiba.
“Hah? Iya.”
“Antar aku ke sana!”
“Untuk apa? Kau akan
buat perhitungan?”
Kurumi mengangkat bahu,
hanya ia yang tahu akan melakukan apa.
***
Kurumi dan Haru tiba di
rumah Sagara bergaya minimalis tradisional. Setelah memencet bel tiga kali, seorang
Pria jangkung membukakan pintu dari dalam. Kurumi tak kuasa menahan gemetar
kakinya hingga terduduk lemas melihat Isuzu, mantan kekasihnya. Mengetahui Isuzu
telah mati, dan kini secara mengejutkan muncul di depannya. Kurumi yakin ini
mimpi meski sadar kenyataan. Haru yang menyimpan rahasia kematian Isuzu juga
tak sangka bila Isuzu ada di rumah Sagara.
“Siapa?" jelas-jelas
ada orang di depannya, Isuzu mencari-cari keberadaan mereka.
Kurumi berusaha berdiri
dan mengibaskan tangannya ke mata Isuzu, tak ada reaksi kedipan. Bukankah
berarti ia buta? Belum pernah Kurumi sebersalah ini. Ia menutupi tangisnya
dengan tangan, tak ingin Isuzu dengar.
“Kami mencari Sagara.”
Haru yang akhirnya bicara.
“Kakak sedang keluar, kalau
mau menunggu silakan masuk.”
“Kakak?” gumam Haru.
Pantas saja Kurumi
benci senyum Sagara, dikarenakan senyum mereka sama.
Isuzu masuk duluan.
Haru memapah Kurumi. Kurumi memandang Haru nanar.
“Aku bisa jelaskan
sesuatu padamu,” kata Haru, tidak membalas tatapannya.
Mereka masuk ke ruang tamu,
sofa krem dan almari kaca berisi foto-foto keluarga Isuzu. Terdapat pula sebuah
foto kenangan bersama Kurumi.
“Duduklah, akan
kubuatkan sesuatu,” ujar Isuzu.
“Tidak perlu
repot-repot,” timpal Haru.
“Jangan takut rasanya
akan aneh. Aku cukup terlatih.” Isuzu tersenyum lalu menuju dapur sambil
meraba-raba.
Haru dan Kurumi duduk berdampingan,
termenung.
“Jadi, selama ini kau
tahu apa yang tidak kutahu?” tanya Kurumi.
“Isuzu yang memintaku.
Kalian sama, hobinya menyuruhku.”
“Sebelum
keberangkatanku ke stasiun televisi, Isuzu meneleponku. Ia ingin menontonku
untuk terakhir kali. Aku bahkan sudah melarangnya, tapi ia memaksa. Ia datang
sendirian dan aku, maksudku kau, menabraknya. Dan sekarang kusadari ia memang
ingin menontonku untuk terakhir kalinya,” jelas Kurumi, airmatanya menetes.
Haru melanjutkan, “Aku
pergi menangani Isuzu yang kritis. Para wartawan mengikutiku hingga ke rumah
sakit, keluarganya benar-benar ingin menghabisimu. Mereka tahu kau
mencampakkannya. Sebelum mereka mengumbar kebusukanmu ke media, Isuzu siuman
dan melarang tindakan itu. Ia juga memintaku menyembunyikan rahasia bahwa ia
masih hidup. Ia hanya tak ingin, kau semakin membenci dan menjauhinya. Apalagi
kini ia buta. Lalu kusampaikan padamu bahwa keluarga Isuzu mencabut tuntutannya
karena kerelaan. Sedang para wartawan menduga kau telah menyuap hakim.”
Sagara yang diam-diam
menguping di balik dinding ruang tamu ikut shok, akhirnya ia mengetahui
kebenaran. Saat mendengar adiknya buta karena Kurumi, Sagara segera pulang ke
Tokyo. Ia ingin membalas dendam, tapi Isuzu selalu melarangnya. Isuzu hanya
ingin Kurumi menjadi baik dengan cara yang baik. Tanpa sepengetahuan Isuzu,
Sagara yang berprofesi sebagai pimpinan redaksi tabloid, membututi Kurumi dan
membuat kontrak. Ternyata selama ini ialah yang buta, bukan adiknya.
“Aku datang.” Isuzu
membawa baki dengan dua cangkir teh hijau dan camilan. Ia agak kaget mendengar
suara tangisan wanita. “Kenapa kau menangis?”
“Ia hanya mengingat
seseorang yang telah tiada, orang itu mirip denganmu,” jelas Haru.
“Benarkah?” Isuzu jadi
canggung dan buru-buru meletakkan bakinya di atas meja kemudian menggeratak
koleksi albumnya di rak samping televisi.
Haru melihat siluet
Sagara di dinding, lalu meninggalkan Kurumi untuk bertemu.
Isuzu tersenyum begitu
menemukan sebuah album dan memberikannya pada Kurumi. “Kalau sedih, aku selalu
mendengar lagunya.”
Di cover album itu
terdapat foto Kurumi memakai gaun putih seperti bidadari. Kurumi mengambilnya.
“Meski hanya dua lagu
dan penjualannya kurang baik, aku suka suaranya. Seperti gesekan ranting sakura
yang sering membangunkanku dari lamunan kesepian.”
“Isuzu-kun,” lirih Kurumi,
beranikan diri bicara, “Gomenasai.”
Isuzu terkejut, lewat
vokal lembut itu, ia mampu menebak, “Ku-kurumi-chan?” Isuzu meraba-raba wajah
Kurumi, lama ia tunggu kehadiran kekasihnya. “Aku sudah memaafkanmu sejak awal,
ini bukan salahmu.”
“Bagaimana bisa ada
orang sebaik dirimu?” Kurumi lalu memeluknya pelan dan hangat.
“Kurumi, kau adalah es
yang hangat.”
Di sisi lain, Haru dan
Sagara bersandar di dinding, mendengar percakapan itu.
“Kau bisa membuat kisah
cinta antara Isuzu dan Kurumi. Ini akan menarik,” usul Haru.
Sagara menoleh ke Haru pelan,
kelopak matanya membesar, “Barusan aku juga berpikiran begitu.”
“Aku akan mengurusi
kontraknya.”
“Setengah harga dari
kemarin.”
“Itupun kalau wajahku tidak
jadi sasaran lemparannya.”
Mereka lalu tertawa.
Komentar
Posting Komentar