Kutu Playgirl II
Biasanya,
saat jam tujuh malam, seorang pelajar mengerjakan tugas rumahnya, berdiskusi
pada temannya lewat telepon, awalnya membicarakan pelajaran, lama-lama gosipin
guru tersadis, tentang hukuman nggak logis kemudian beralih topik ke ‘cowok’.
Sementara untuk pelajar berstatus playgirl,
untuk hari ini terkecuali, aku mengobrak-abrik, meneliti kalimat perkalimat, memelototi
tiap foto mantan di jurnal playgirl-ku,
semua demi Kain-na—nama yang aneh dan nggak enak didengar.
Sudah
tujuh belas bulan aku menjabat sebagai playgirl,
banyak cowok kupacari sehingga aku menjadi pikun. Adikku sering bilang, ingatan
dekatku baik sedangkan ingatan jauhku lemah. Berbeda dengan ayah, dia bisa
fasih menceritakan pertemuannnya dengan ibu, sementara sering lupa memakai
celana saat mau berangkat ke kantor. Kesimpulannya, kisah cinta pastilah
berkesan karena itu terus terngiang di kepala ayah. Berarti, kalau aku lupa
pernah menjalin cinta sama Justin, bisa diartikan, hubungan kami tawar.
Aku
menutup jurnal sambil mendesah, besok mendingan nggak masuk aja deh. Mengingat
Kain-na akan menanyakan Justin sepanjang waktu. Selain karena ulangan fisika,
sih.
Kilatan
cahaya mobil menembus jendelaku, mengakhiri lamunanku.
Nah
…, datang lagi pemeran pembantunya.
Aku
membaluti tubuhku dengan sweater
coklat, mengikat dua rambut lurus seleherku kemudian turun menuju teras
secepatnya. Begitu si idiot pemberani asal Padang turun dari mobil ayahnya, aku
menadah tangan, menagih oleh-oleh, tapi dia malah bertolak pinggang. “Gue abis
kondangan, bukan jalan-jalan,” umumnya.
“Kalau
gitu, kamu ngutang dua ratus ribu.”
“Ibu
gue masih punya rendang sisa tuh, atau lo mau dibayar pakai curhatan? Gue kenyang
tidur di pesawat sama di mobil, nggak kepengin meluk kasur, pengin cerita yang
ngawur dulu sama lo.”
Aku
pun menunduk sendu.
“Eh
…, kenapa? Jangan belagu, gue aja sering makan rendang sisa.”
Bukan,
bukan itu. Dia salah baca rautku. Aku sedang berlagak menjadi playgirl teraniaya. Lantas aku sengaja membawa
obrolan ke sepanjang gang perumahan hingga dia mengikutiku, dia sesekali
renggangin tubuh karena kelamaan di mobil, kita terdiam, barangkali nyawanya
baru ke-transfer 60%.
Kita
dilahirkan di rumah sakit dan waktu serupa. Aku keluar secara normal. Sedangkan
kondisi ibunya lemah, dan dokter memutuskan operasi sesar. Dari sanalah,
orangtuanya terinspirasi menamainya ‘Caesar’.
Hal
lumrah, ketika memasuki sekolah dasar orang-orang mengira kami kembar. Kami
dipasangkan ditiap kegiatan. Lama-lama sebuah rumor beredar, ‘kami bisa jatuh
sakit bila dijauhkan’. Dan asumsi telah melekat, kami kesulitan membantahnya.
Di
samping itu, Caesar enggan bergaul dengan bocah laki-laki. Dia lebih suka akrab
dengan cewek-cewek. Terkadang kami main monopoli, ular tangga dan lompat karet.
Tiap kali aku memarahinya, reaksinya cuma nunduk. Amarahnya nggak gampang
terpancing sepertiku.
Memasuki
lingkungan SMP, Caesar nggak mau mengubah pergaulannya. Sampai menyeruak sebuah
gosip, ‘Caesar adalah banci, banci adalah Caesar’. Alumni SD kami yang
menyebarkannya. Akibatnya, kalangan cewek menjauhinya, cowok-cowok mengejeknya.
Caesar tersinggung, untuk pertama kalinya aku melihatnya geram.
Caesar
mengambil tindakan dari gosip tersebut, dia masuk ke klub voli. Namun,
permainannya buruk sehingga selalu diposisikan sebagai cadangan, dan yang
membuatku salut, dia konsisten di klub voli sampai SMU. Sesuai harapannya,
gosip itu kian ditelan waktu.
Caesar
memiringkan kepalanya yang plontos, mencermatiku intensif sementara alisnya
bertaut. “Lo lagi berusaha kirim pesan lewat telepati?”
“Kalau
kita punya, mungkin lebih enak.” Aku memilah kalimat selanjutnya yang harus
kukeluarkan. Aku juga nggak optimis amat kalau Caesar mau bantu masalahku,
namun pada akhirnya kuceritakan juga. “Tadi pagi ada anak baru namanya Kain-na.
Tiba-tiba dia nuduh aku sembunyiin cowok bernama Justin.”
Seketika
sunyi. Aku terhenti dan menoleh ke samping, Caesar menghilang! Hah?! Ternyata
mitos genderuwo itu nyata! Ketika aku berbalik beranjak berlari. Caesar tepat
di depanku—sejauh lima meter sambil memelototiku seolah-olah aku sudah berubah
menjadi naga. Lewat penerangan lampu jalan kekuningan, samar-samar aku melihat
dahinya berkeringat dan wajahnya menegang.
“A-ada
pocong, ya?! Kunti? Kamu bisa liat? Di mana? Di mana?!” Aku ketakutan sekaligus
penasaran—mencari-cari barangkali makhluk astral itu singgah di pepohonan.
“Yang
…, yang …, lo maksud Kaena Melody? Meski tulisannya, ka-a-e-en-a, dipanggilnya
Kei-na, bukan Kain-na.”
Aku
menyudahi perasaan ingin berlindung karena ketakutan akan hantu jadi berganti
mengamatinya dan berubah paham. “Oh …, nama kamu berubah jadi Justin? Sekarang
semuanya masuk akal. Si Kain-na itu—”
“Gue
bakal awali kisah ini dengan ‘pada suatu hari, dan kisah yang mengenaskan,
bukan?’” Caesar memotongku, menggiringku menuju ceritanya. Dia mau ngikutin
Haruki Murakami[1],
ya?
Dan
Caesar memulai bercerita, amat serius.
“Pada
suatu hari, seorang pria bermain twitter
selepas sekolah. Username twitter-nya
yaitu, @justinPHP. Dia punya dalih tersendiri memakai nama labil itu. Awalnya
nama itu dia gunakan sebagai Role Player
Justin Bieber, namun followers
membencinya, karena dia sering menulis tweet
berbau kebohongan, seperti dia sering bertemu Justin Bieber asli atau sebelum Selena
Gomez pacaran dengan Justin Bieber,
dia sudah menggait wanita itu duluan. Puncak kebohongannya, saat dia mengadakan
kuis berhadiah mug dan poster bertanda tangan Justin Bieber asli. Namun, setelah periode kuis berakhir, dia tidak
pernah mengumumkan pemenangnya, kebodohannya tampak, dia menjanjikan harapan
palsu. Para kuis hunter-pun
memberinya julukan, Justin PHP.
“Kebingungan
adalah alasannya bermain twitter saat
itu. Sebelum berangkat sekolah, ibunya menagih kado ulang tahun yang
dijanjikannya. Dia tidak ada waktu ke butik. Lantas, pria tampan itu mem-follow belasan toko baju online, memilah pakaian sesuai isi dompetnya.
Dia pun menemukan baju terjangkau, kemudian menanyakan stoknya, tidak lupa menawarnya
seminim mungkin setelah mengutuk dirinya telah menghabiskan separuh uang
jajannya untuk game baru.
“Ketika
mention-mention sengit antara pelanggan dan penjual pelit tentang penawaran
dan penolakan membabi buta. Muncul username
@K, tertarik pakaian serupa. Dia berjanji membayarnya dua kali lipat. @K menang
dan penjual toko online itupun mengkhianati pria tampan tersebut. Username @justinPHP memaki-maki @K dan
membututi twitter-nya tiap waktu demi
mencari titik lemahnya. Pikirnya, akan lebih mudah bila dia seorang black hacker, tapi dia cuma punya
kemampuan men-stalk untuk
menyelidiki.
“@K
kehilangan kesabaran, dan menjelaskan bahwa tidak ada seorangpun yang memberinya
kado ultah, lantas untuk menyenangi diri, dia membeli pakaian itu sebagai
kadonya, @K pun menambahkan emoticon menangis meraung-raung. Pria itu terharu,
sudah tersebar sampai kepelosok, bila @justinPHP seorang yang memiliki
kerendahan hati.
“Setelah
mengetahui pemilik akun @K seorang perempuan, pria itu meminta maaf.
Lama-kelamaan, @justinPHP menjadi gudang curhat @K. Mereka tidak pernah tahu,
kedekatan itu mengartikan kecocokan. Obrolanpun merangsang ke ‘kopdar’. Gadis
itu berdomisili di Bandung, sementara @justinPHP di Jakarta. Mereka sepakat
bertemu di Bandung. Dan pria itu berpikir ulang, selama ini yang menghambat
hidupnya hanya uang dan kekuperannya. Sedangkan janji harus ditepati, akhirnya pria
itu menjual beberapa kaset gamenya setengah harga ke teman-teman labilnya.
Itulah perjuangannya. Mengandalkan maps,
dia berangkat.
“Pria
itu rela mengarungi perjalanan dengan bus selama empat jam. Setelah sampai, dia
mencari sebuah cafe tempat mereka kopdaran dan tersasar dua jam. Perutnya perih
seperti habis puasa tiga hari. Lelahnya sepeti habis melawan Juventus
sendirian. Akhirnya, mereka yang berasal dari dunia maya, bertemu di tempat
tujuan. Menurut @justinPHP ada dua kategori wanita di twitter. Pertama, perempuan yang di foto cantik tapi aslinya biasa
saja. Kedua, perempuan yang di foto cantik, begitu dilihat aslinya lebih cantik
lagi dan @K tipe kedua. Rasa haus, lapar dan encok pria itu lenyap digrogoti
kekaguman.
“Di
meja telah terhidang banyak menu untuknya. Pria yang mengaku bernama Justin itu
bahagia karena gadis bernama Kaena itu ternyata mampu membaca kemiskinannya.
Selain dermawan, gadis itu sopan dan selalu tersenyum. Terang-terangan, Kaena
bilang pada Justin, ‘kamu lelaki pertama yang berkencan denganku’. Begitupun
Justin. Detik itu, Justin seolah dihampiri roh baik dan jahat menggodanya
mengungkapkan perasannya atau cukup memendamnya. Akan tetapi, seperti
kebanyakan pria pengecut lainnya, beberapa hari kemudian Justin menembaknya di twitter. Dia hanya takut penolakan.
Takut habis-habisan.
“Dua
hari kemudian, cinta Justin diterima. Mereka bertahan LDR selama dua bulan.
Justin bosan pacaran dengan ponsel. Secara sepihak, dia mengakhiri hubungannya.
Kaena meminta penjelasan. Justin berpikir, alasan ‘bosan’ terlalu sadis. Maka,
Justin mengaku ada gadis lain yang memikat hatinya bernama ‘Lara’, Lara adalah playgirl di sekolahnya. Setelah penjelasan
singkat, Justin menghapus akunnya, mengganti nomer ponselnya, dan hilang dari
hidup Kaena. Akhir yang mengenaskan, bukan?” Dia menandaskan kisahnya dengan
cengiran.
Dia
pikir, dengan begitu aku akan memakluminya, merasa iba, kemudian selesai
urusanku? Nggak, ini justru waktu yang tepat untuk memukulinya! Aku mengambil
ancang-ancang—meninju-ninju telapak tanganku sebagai pemanasan, memicingkan
mata, perlahan mendekatinya. “Itu pencemaran nama baik tau! Aku idola di
sekolah. Kesan baik yang aku bangun susah payah bakal rusak! Kamu tahu yang dia
lakuin? Dia duduk di samping aku, terus-terusan tanyain keberadaan Justin
sampai pulang sekolah. Ketenangan aku rusak. Mantan-mantan aku nggak mau
mendekat. Meski aku bilang ‘nggak tahu’ sampai dungu, dia tetep keras kepala.
Aku punya kuping dan untuk pertama kalinya terasa pengin meleleh.”
Tanpa
sadar jarakku dengannya menipis, Caesar memelotot ketakutan sambil
terampun-ampun menutup wajahnya dengan tangan. Tinjuku hampir melayang ke
wajahnya, namun dia diselamatkan oleh ponselku yang berdering,
“Apaan
lagi sih, nih?!” Aku pun menunda pembantaian dan mengambil ponsel dari saku
celana, aku terkejut melihat nama yang terpampang di layar ponsel dan membuatku
gugup sampai mampus, lantas dengan gemetaran aku mengangkatnya. “Ha-ha-ha …, lo.
Ka-ka-kaena?!”
Caesar
seketika tercekat, tegang, tercengang. “Gu-gue belum siap ketemu dia, jangan
bilang gue di samping lo,” bisiknya.
“Apa?
Aku harus bawa dia?” Aku melirik Caesar ngeri, “dalam keadaan dibakar matang dan
saus kacang dipisah? Oh, ok.” Aku
menelan ludah sambil menutup ponselku. Sementara Caesar memucat.
“Ja-jadi
…, dia minta lo bakar gue sekarang? Gila! Dia benar-benar gokil!”
“Kegeeran!
Barusan Ayah aku telepon minta dibeliin sate. Heh! Seharusnya kamu seneng dicariin
mantan yang cantik.”
“Heh!
Lo harus paham kondisi gue,” Caesar memukul-mukul dadanya prihatin, “sifat kita
itu tubrukan banget. Gue sekaget itu karena cewek itu bisa aja nyate gue.”
“Heh!
Aku itu ceritanya selingkuhan kamu, kita bisa aja disate bareng. Aku
peringatin, cepet kelarin masalah kamu. Kontak dia. Ngaku kalau Justin itu benaran
PHP!”
***
Alarm
di ponselku berkokok. Sambil terpejam, aku meraba-raba ponselku di bawah bantal
untuk mematikannya. Mataku setengah terbuka saat melihat layar ponsel, dan seketika
terbelalak saat mencermati jumlah pesan masuk. “Enam ratus pesan? Ini pesan
pribadi atau pesan grup WA seharian, sih?”
Saking
kesalnya, aku bangun secepat vampir cina, melompat dari ranjang bagai katak,
menggeser jendela kamar menuju ke beranda. Tepat di depan berandaku terdapat
balkon Caesar, saat-saat ini jadi ada gunanya kita bertetangga.
“Caesar!
Caesar!”
Nggak
ada tanda-tanda kehidupan. Aku mungkin harus melompat, ah …, nggak perlu!
Terlalu ekstrem. Cukup ambil batu terus pecahin kaca jendela sama kepalanya, tapi
itu tindakan kriminal namanya.
Akhirnya
pangeran gundul bangun, dia menggeser jendelanya setengah, kepalanya saja yang
ditimbulkan. Sambil menguap dia bertanya, “kenaffaaa?” beruntung banget dia
bisa tidur nyenyak.
“Aku
nggak pernah kasih nomer ponsel ke dia dan tiba-tiba …, enam ratus pesan? Pokoknya
kamu harus tanganin dia!” Pekikku menggebu-gebu.
“Ha?”
Teriakanku
ternyata nggak kekirim ke otaknya, barangkali dia kira masih di alam mimpi, hal
itu justru menambah kegeramanku.
“Kamu
nggak bermaksud serahin masalah pelik ini ke aku, kan? Apa aku harus pakai cara
mudah? Pencet nomer Kaena, beri informasi tentang tempat tinggal kamu dan
walahhh …, selesai.”
Jendela
digeser penuh secepatnya menggunakan kepala gundulnya, Caesar meringis bersama
boxer merahnya di hadapanku, “ok, gue hadepin!”
Nah
…, gitu dong!
Adik
lelakiku bertampang polos yang mengenakan seragam merah putihnya masuk ke
kamarku sambil mengunyah roti selai coklat. Dia menegurku, “kak Lara, berisik
banget, sih. Emang ini hutan? Buayanya juga nggak ada.”
Aku
menoleh ke arahnya nggak minat, “dari mana kamu belajar kalau buaya itu ada di
hutan? Pakai dasi dulu yang bener, gih!”
“Kenapa
emangnya?” Kemudian adikku menunduk mengamati dasinya lalu teriak. “Mami …, kenapa dasi ayah yang dipakein ke leher
aku?!”
***
Jiwa
dan wujud Caesar telah berada di parkiran. Perlahan, dia melepaskan tangannya
dari setir, mengambil napas sebanyak mungkin, ragu-ragu keluar. Topeng matanya
menggangguku, dia merusak citra tuxedo bertopeng yang gagah berani.
Menyebalkan, dia mau ke sekolah asalkan memakai topeng demi menutupi jati
dirinya sambil bersujud di depanku, aku kan jadi iba. Itu sih sama aja dia
menghindari tanggung jawab atas kesengsaraanku.
“Karena
kita sahabatan, dan aku pilih selamatin kamu dari
orang-yang-nggak-boleh-disebutin-namanya-itu. Jadi, aku minta imbalan.”
Kening
Caesar hampir terjeduk ke setir saat mendengar permintaanku. Memangnya salah
gadis cantik malak?
“Sahabat
apa yang begitu lagi?”
“Uang
sebenarnya nggak sepadan. Tapi aku mendingan kasih pilihan, uang atau bongkar?”
“Gue
nggak takut meskipun lo beberin.”
Aku
menaikkan sebelah alisku, “ciyus?”
Yah
…, itu hanya jual mahal selama tiga detik. Kemudian dia merogoh kantungnya
dalam-dalam, tiga ratus ribupun keluar dengan cepat. Pekerjaan mudah—ketika aku
dibayar sekadar tutup mulut. Tapi, apa hal ini baik untuk masa depanku?
***
Aku
nggak pernah mimpi jalan di koridor bareng tuxedo bertopeng, semua orang
tercengang dan aku cemas cowok-cowok berpikir, seleraku berubah setelah
menonton Sailormoon. Sebagian cowok menyerah mendapatkanku, dan sisanya
berupaya menyesuaikan karakter tersebut agar cinta mereka kuterima. Oh ..., itu
sesat sekali. Terkecuali, adegan sepasang sepatu Kaena menghadang langkah kami,
kurasa adegan ini pernah merasuki alam tidurku.
“Kenapa
kamu nggak balas pesan aku?” Seketika Kaena menghunuskan pertanyaan. Aku
sedikit mengerti alasan Caesar memilih meninggalkannya. Keposesifannya nggak
tertolong lagi.
“Hapenya
aku matiin.”
“Kamu
nggak punya ikatan batin sama hape, ya?”
Detik
itu amarahku terangsang, “heh! Dengar, ya? Ada kuota tengah malam melimpah buat
unduh drama korea aja aku males bangunnya. Apalagi buat balas pesan kamu.
Lagian siapa yang kasih tau kamu nomer aku, sih?”
“Aku
jadi tambah curiga,” Kaena memicingkan matanya.
Aku
melongo, “lha? Emang yang kemarin belum curiga total?”
“Aku
beruntung bertindak cepat, minta nomer kamu sama Pak Nara. Ternyata benar,
tengah malam kamu sama Justin masih teleponan,” tuduhnya.
Aku
stroke, dalam benak, sih.
Kaena
mengetuk-ngetuk dagunya, perhatiannya beralih ke tuxedo bertopeng di sampingku,
“dia siapa?”
Caesar
membeku, melirikku sebagai kode meminta pertolongan. Dih! Salah sendiri,
seharusnya saat kita adu mulut, dia pergi.
Aku
tertawa garing demi memecahkan penyelidikan Kaena, “gimana kalo kita bahas
tentang ade aku yang blo’on aja?”
Kaena
nggak peduliin ucapanku, perhatiannya seutuhnya untuk Caesar.
Cairan
di kening Caesar jatuh membasahi bahu kemejanya. Peluhku juga muncul. Adegan
ini lebih menyeramkan dari film berdarah-darah.
Ketahuan,
ya? Ketahuan?
Sudah
jelas, Kaena nggak mungkin lupa kegundulan mantannya. Dia pun berteriak
menyadari identitas tuxedo bertopeng gadungan itu. Spontan Caesar memekik
kemudian berlari seperti jambret. Kaena mengejarnya.
Aku?
Sudah jelas membiarkan mereka dan meneruskan perjalanan ke kelas. Aku nggak
suka olahraga pagi apalagi pelatihnya Kaena. Pada akhirnya, Caesar tamat di
tangan Kaena, dan cerita tentang kesengsaraan playgirl pun telah sampai pada puncaknya.
The
End.
[1]
Maksud Caesar adalah cerita pendek karangan Haruki Murakami yang berjudul,
‘melihat sang gadis sempurna 100% di pagi indah bulan april’. Saat menceritakan
pertemuannya dengan si gadis, sang pria lantas mendahulukan kalimatnya dengan
ucapan, ‘Pada suatu hari,’ dan mengakhirinya dengan, ‘sebuah kisah yang
menyedihkan, bukan?’
Komentar
Posting Komentar