Kutu Playgirl I


Ketika bumi mengalami pemanasan global. Saat bantaran kali nggak ada habisnya dengan sampah. Saat serial Naruto baru saja tamat. Aku—sangat populer di sekolah.
Dua cowok sepantaranku, meraih tanganku sewaktu aku turun dari mobil. Mereka membawa tasku sukarela, mengawalku seperti ksatria di koridor. Selain itu, mereka sering mengantar jemputku, menjajaniku, bercanda denganku. Mereka menuruti semua perintahku, apalagi kalau kusuruh menggendongku sampai ke kelas. Tapi, aku bukan nenek-nenek. Kakiku masih kuat kugunakan menendang velg mobil ketika bannya bocor di tengah jalan, aku nggak nangis, cuma menjerit sedikit.
Dan ..., mereka kusebut—mantan yang tertunda.

Kalian bertanya jumlah mereka?

Oh… tentu saja, jika dijejer di kelas, mungkin nggak akan muat. Mereka adalah mantan yang gagal move on dan bersedia mengabdi padaku.
Aku terharu.
Bukan hanya mantan-mantanku yang tertunda, semua orang di sekolah pun berlaku baik padaku, mungkin berkat timbal balik perilakuku terhadap mereka karena aku tulus membantu mereka di saat kesusahan.
Dan,
aku bersolo karir sebagai playgirl, sementara banyak siswi memohon menjadikanku sesepuh mereka dalam menggebet cowok. Perlu kuberitakan, sejak kecil aku belum pernah memiliki geng beranggotakan perempuan. Sahabatku bahkan laki-laki. Kupikir, membuat kelompok akan merusak karirku, itu saja.

Kenapa aku duduk sendirian di meja paling belakang? Apa nggak takut hantu?

Jawabannya mudah, kalau duduk di depan, aku dengan mudah tertangkap basah membaca majalah style online, dan penghapus papan tulispun melayang ke wajahku. Apa? Hantu? Aku lebih takut sama Pak Nara.
Begitu aku singgah di mejaku, mantan-mantanku otomatis pergi.
Tujuh menit lagi pelajaran dimulai. Aku lantas membuka ‘jurnal playgirl’ dan menulis tinjauan gebetanku selanjutnya. Kuramu rumus serta menghitung ketepatan waktu penembakan dari rentang waktu pendekatan kami. Satu atau dua minggu, bahkan sebulan. Bila terlalu lama, kucoret dari daftar dan menggantikannya dengan siswa yang berpotensi menjadi pacarku. Nggak cuma itu, jurnalku menyimpan berbagai informasi, tentang strategi mendapatkan cowok dalam sekejap. Acara penembakan favoritku sampai daftar mantan dan gebetanku.
Maka, biarkan aku berbagi informasi tentang beberapa siswa yang pernah kupacari:
1.       Namanya Johan—keturunan Jawa Itali. Ayahnya mempunyai puluhan foodcourt burger yang tersebar di mall-mall Jakarta. Dia kakak kelasku—sangat santun, selalu mengancungkan ibu jarinya ke depan jika sedang menunjuk sesuatu.
Alasan jatuh cinta       :  Aku selalu diberi roti sisa jualan setelah      kencan.
Alasan putus               :  Dia terlalu sopan.
Lama hubungan          :  32 Hari.
Poin penyesalan setelah berhubungan :  2,5%

2.       Namanya Zuma. Berwajah oriental. Julukannya ‘Pitagoras’ kalian pasti mengira itu nama rumus tapi memang itulah panggilan sayangku untuknya. Hidupnya penuh rumus, dia makan dengan R+U+M+U+S = RUMUS. Mungkin dia diciptakan dari rumus juga.
Alasan jatuh cinta       :  Dia sangat pintar, sampai nggak sadar kepalanya membotak.
Alasan Putus               :  Dia lebih mencintai rumus dibandingkan aku.
Lama Hubungan         :  29 Hari.
Poin penyesalan setelah berhubungan :  10%

3.       Namanya Ramon. Dia anak kepsek tertampan di sekolah. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
Alasan jatuh cinta       :  Hanya karena dia tampan.
Alasan putus               :  Ternyata dia pelit.
Lama hubungan          :  15 Hari.
Poin penyesalan setelah berhubungan :  55%
4.       Namanya Belukar, julukan ‘Berbulu Jika Kekar’. Dia tahu banyak tentang mesin kendaraan. Ayahnya punya bengkel khusus mobil sport. Belukar keturunan Batak Pakistan.
Alasan jatuh cinta       :  Dia punya ferrari.
Alasan putus                           : Tiap kali kencan, dia selalu membawa mobil kijang butut. Saat mobilnya mogok, selalu aku yang disuruh mendorongnya. Sementara saat kumpul dengan teman-temannya, dia membawa ferrari-nya. Aku sedih. Dia terlalu sayang ferrari-nya dibandingkan aku.
Lama hubungan          :  20 Hari.
Poin penyesalan setelah berhubungan :  90%

5.       Namanya Stinky. Dia keturunan Jerman, handal bermain tiga alat musik, gitar, bass dan drum.
Alasan jatuh cinta       : Dia keren, tinggi dan warna kulitnya seksi.
Alasan putus               : Dia bau ketiak. Aku nggak sanggup pakai masker terus tiap kali kencan. Tapi kalau maskernya kulepas, tanpa sadar aku pingsan dengan wajah menghantam lantai duluan.
Lama Hubungan         :  5 Hari
Poin penyesalan setelah berhubungan :  Nggak terhingga.
Bel pelajaran pertama berbunyi—menarikku dari lamunan “Ingin balikan dengan mantan”. Tapi aku berprinsip,no love with ex boyfriend anymore”.
Pak Nara masuk dengan buku absen yang dikempit di ketiaknya—seorang siswi berseragam mengekornya. Demi prada dan gucci, karismanya mencolok-colok mataku. Kulitnya putih menerawang, rambutnya lurus sepanjang dada, langsing, kaki jenjang, kulit halus, dan wajahnya sempurna. Cowok-cowok hidung belang itu tampak menginginkannya.
Dia lalu berhenti di depan kelas—menyibak rambutnya ke belakang bahu. Sebelum aku siap mendengarkan, dia mulai memperkenalkan dirinya, “aku, Kain-na Melody.”
Detik ini masih normal, aku kembali mengikir kuku—sampai dia bilang, “aku anak gubernur Bank Indonesia.”
Barusan seperti ada rudal menyerang kelasku. Aku jelas kalah kaya darinya. Ayahku hanya punya pabrik penggilingan kopi. Ibuku punya toko berlian dan ruby di Prancis, tapi belum lama habis terkena tipu milyaran rupiah oleh sahabatnya sendiri. Beruntung aku nggak jatuh miskin dan bunuh diri.
Dan dia juga bilang, “tujuan aku masuk ke sekolah ini untuk menghancurkan kamu, Lara!” sungutnya sambil menatapku seolah akulah pembantu yang menculik adiknya.
Hah? Dia bilang apa barusan?
“Kamu bakalan mati!”
Apaan lagi, tuh?
“Kamu itu orang gila dari mana?” Sahutku santai, nggak terpengaruh.
Kamu ingat, Justin?”
Justin? Justin Bieber?
Udah ingat? Dia itu pacar aku, sebelum kamu rebut dia!
Aku mengulum bibir menahan tawa. Kelucuan menjadi pertanyaan kusut yang harus kujawab detik itu juga. Dia bahas Justin yang mana? Apa jangan-jangan dia pengarang novel horor? Atau aku mulai amnesia karena kepalaku sering kebentur tembok? Aku terlalu banyak mantan kayaknya.
So, what?”
“Kamu bakalan terima balasannya, Lara!”
Membenarkan kacamata, lalu bertolak pinggang, Pak Nara menghentikan ocehannya. “Kalau kalian punya masalah, sebaiknya selesaikan di LUAR!!”
Cewek itu memandang Pak Nara sengit, “ini bukan masalah yang bisa diselesaikan dalam sekali duduk, Pak!”
“Jadi, maksud kamu mau berdiri terus?”
Cewek itu memelototi Pak Nara.
“Kalau begitu, duduk di sana!” Pak Nara nggak gentar.
Pembicaraan itu berakhir pada telunjuk Pak Nara yang mengacung ke kursi sebelahku. Nggak mungkin! Pak Nara nggak beres! Dia minum susu basi kebanyakan! Dua orang yang lagi berselisih disatuin. Ini kayak menjebak kucing rumahan bersama kucing kampung.
Sejak dulu, aku sengaja biarin kursi di sebelah kosong, aku nggak sudi siapapun duduk di sampingku. Teman sebangku bisanya cuma ganggu. Si pelaku tiba-tiba ngajak ngobrol di tengah pelajaran, ngebahas jerawat batunya yang nggak kunjung pecah, atau diam-diam kirim SMS ke pacarnya tanpa matiiin suara tombol, atau ngelirik ilegal sewaktu ulangan. Begitulah teman sebangku suram yang kukutuk. Kalau …, siapa tadi namanya? Kain-na? Bisa sesantai itu sama Pak Nara, seharusnya dia duduk di meja guru, dan coba lihat perasaan Pak Nara saat mejanya dijajah.
Sebelum aku sempat membantah, Kain-na mendekati mejaku bersama raja ancaman dan ratu masalah. Dia pun nggak perlu sewa sniper, karena tatapannya mampu membunuh lima orang. Akankah aku—sang peran utama dalam episode ini akan berakhir bahagia? Atau dimangsa seperti babi hutan. Yang menjawabnya, bantingan keras tasnya ke mejaku serta picingan matanya.
“Kamu mau hipnotis aku?”
Dia bergeming. Diamnya barangkali mengartikan ‘iya’.
“Aku lagi sakit mata, nih.”
Beralasan kayak gitu salah besar, dia tetap nyeremin dari sudut pandang manapun. Melihat ke sekeliling kelas aku langsung kecewa, bukan karena Pak Nara dikacangin, itu sih biasa. Melainkan reaksi bahagia para pemuda berhormon testosteron atas kehadiran Kain-na—yang menambah populasi gadis cantik di kelas.
Ketika aku berspekulasi, Kain-na akan berdiri sampai pelajaran berakhir, dia duduk merapat padaku, menelisikku, nggak gentar mengawasi sampai dapat informasi keberadaan Justin. Mana mungkin aku ngaku sesuatu yang nihil di memoriku. Semua kutulis di jurnal, mustahil ada mantan ketinggalan. Aku bahkan nggak tahu film detektif yang kasusnya mirip denganku, sehingga aku bisa memecahkan situasi kemudian mengambil hikmahnya.
Di dunia ini, maksudku, di sekolah ini, banyak orang bernama Justin, terus kenapa dia serang aku? Otakku seketika blank, pengin banget tertawa hina, apa-apaan? Aku ngerebut Justin? Cih!
Kain-na mungkin mantan tentara militan, dari pelajaran pertama sampai mau habis, matanya nggak nyerah bidik aku. Ketika di lorongpun dia mengikutiku, membisikiku, mengepungku dengan pertanyaannya, ‘di mana Justin?’.
Kesalahanku adalah nggak tahu kesalahanku.
Akibatnya, nggak ada kesempatan mantanku mengikutiku. Nggak ada yang bersedia melayaniku sewaktu aku duduk di kantin, sehingga aku mengambil makanan prasmanan sendiri.
Selagi aku duduk, Kain-na terus-terusan menambah kotoran telingaku dengan pertanyaan yang bikin jenuh. Ini nggak beda jauh kayak habis mendengarkan musik metal tapi yang nyanyi adikku setelah telan toa.
“Bilang aja, Lara. Kamu sembunyiin Justin di mana? Tadi pagi aku ke ruang BP, nama Justin lenyap dari daftar siswa. Kamu sengaja ubah supaya identitas Justin nggak ketahuan sama aku, hah! Jenius banget!”
Aku hampir menyendokkan sup ayam ke hidung karena saking salah tingkahnya dituduh begitu. Mendiami orang gila memang bukan tips jitu.
“Cukup!” Aku membanting sendok ke lantai, meraung gusar.
Sewaktu ingin melampiaskan kekesalan, aku segera urungkan begitu sadar kebodohanku, nggak ungkit pertanyaan ini dari awal, “kalau namanya doang, mana bisa aku ingat, kasih tahu ciri-cirinya dong!”
“Oh gitu? Kepalanya licin, sawo matang, keren, ganteng, tinggi, punya mata yang ajak aku mencintainya.”
Aku mendesah malas. Subjektif abis!
“Dan, dari mana asalnya kamu tuduh aku rebut dia?”
“Sebelum putus, Justin kasih tahu aku kalau dia selingkuh sama cewek bernama Lara di sekolahnya. Ciri spesifiknya, Lara itu playgirl. Aku langsung kenalin kamu, tapi nama Justin PHP nggak ada di daftar siswa.”
Aku tercengang.
“Itu nama samaran, kan? Namanya aja palsu gimana cintanya. Kamu nggak pikir, nama itu tunjukin karakter orang? Lihat kamu begini, dia sukses kasih kamu harapan palsu. Dan sialnya, orang itu kenal aku.”
“Jangan mengada-ada, itu bukan nama samaran!”
“Aku udah intip jurnal berkali-kali. Nggak ada mantan atau gebetan bernama Justin. Ada kemungkinan, dia sengaja pakai nama samaran buat deketin kamu, setelah bosan kamu ditinggalin dan kepopuleran aku dimanfaatin sebagai alasan. Sementara dalam kamus playgirl, aku nggak sudi mau jadi selingkuhan. Tapi kamu yakin dia sekolah di sini? Masa pacaran nggak tahu rumahnya. Kamu peran utama di lagu Ayu Ting-ting?”
Kain-na memelotot, kaget luar dalam.
“Aku cuma percaya satu hal, kamu pelaku penyekapan Justin!” Tuduhnya.
Gantian aku yang terbelalak.
“Kamu nggak tahu perjuangan aku pindah sekolah demi Justin. Tapi setelah sampai, kamu nggak tunjukin itikad baik, kamu rahasiain keberadaan Justin. Aku capek banget, pembantu aku selalu ngeluh setelah cuci baju, cuci piring terus nyapu dan ngepel. Ternyata capek itu rasanya kayak begini.”
Jadi, sebatas itu dia tahu tentang capek?
“Kamu kurang puas dengan gebetan dan mantan sebanyak itu? Kenapa Justin kamu mangsa? Apa mau kamu? Jangan ganggu aku! Jangan ganggu hubungan dan cinta tulus kita!”
Wow! Sebenarnya ada apa, sih? Aku lagi dijebak buat acara reality show, ya? Aku ngerasa dungu, bagaikan murid yang disuruh ngerjain soal matematika tapi nggak pernah diajarin rumusnya, dan tiba-tiba guruku marah-marah karena nilaiku seburuk isi dompetnya. Tapi, kalau aku dibuat lelucon, kenapa sekelilingku tampak natural? Contohnya kesenduan Kain-na yang nggak sabaran ingin ketemu Justin.
Aku berdiri dan menepak meja, “pokoknya aku nggak tahu!”
“Kamu tinggal kasih tahu keberadaannya, aku langsung pergi.”
“Aku nggak pernah kencan sama dia. Jelas?”
Semua orang menonton kami. Demi membela harga diri, rasa malu segera kulenyapkan. “Siapapun bawa dia! Sampai aku nggak bisa cium bau badannya lagi.”
Dua mantanku menunda makan siangnya, segera siaga di mejaku, kemudian mereka menyeret Kain-na keluar kafetaria. Kain-na gelagapan sambil berteriak histeris membuat seisi kafetaria menggema. “Cewek jahat! Aku bakal bongkar kebusukan kamu. Ingat itu playgirl, ingat!”


Yang butuh kurenungkan, apa aku punya kebusukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Meraihmu

Meraihmu (Just Prolog) ^.^

Gue dan kacamata (memilih pakai logika baru hati)