Raja Kuliner Nusantara, Kurasa ….
Pict: Justtryandtaste.com
“Setelah kaldu mendidih masukan irisan wortel, kembang kol dan brokoli. Kemudian aduk perlahan bagai kehidupanku yang monoton dan tidak berkembang.”
Kaki jenjang Bu Meri disilangkan, dia
gusar membaca tulisan resepku, sampai-sampai kertas HVS-ku itu dia dekatkan ke wajahnya
agar dia mengerti betapa pentingnya memahami otakku.
“Kenapa ditambahin curhatan segala?
Tulis hal-hal ironi dramatik di diary kamu saja. Lagi pula …,” dia membolak-balik
halaman resepnya, “kamu menuliskannya sepanjang tiga lembar, padahal ini cuma
sayur sop!”
“Bukannya masakan dinilai dari rasanya,
bukan resepnya?” Aku memberi pembelaan sambil membuang muka, malu.
“Itu sih belum seberapa. Parahnya
dititik ini.”
Sayangnya, dia nggak peduliin aku.
Kukira, kalimatku membuatnya terpukau.
“Hati-hati saat mengaduk kaldu mendidih,
jangan sampai tersiram ke wajahmu ketika bercanda dengan adikmu yang blo’on
itu. Yang terpenting, masak dengan wajah ceria karena keceriaan adalah bumbu penyedap
tambahan, terjamin lidahmu akan menari-nari seperti di anime Cooking Master Boy.
Kamu menuliskan tips bersama metafora. Kamu ingin jadi raja kuliner nusantara? Yang
diinovasikan itu masakannya, bukan resepnya!”
Dia memukul meja sementara resepku di
atasnya. Aku merasakan kesakitan yang ditanggung tulisan resepku merasuk ke
jiwaku seperti daging yang diceburkan ke kolam kecap menjadi semur. Bu Meri galak
banget. Memangnya dia kalajengking apa? Kurasa, dia punya masalah pribadi
denganku. Ada yang bersedia menggantikan posisiku? Aku nggak tahu lagi mau
kasih pembelaan apa. Resepku nggak karuan. Padahal buatnya nggak mudah. Aku
dapat koreksi banyak dan masih nggak mau ngaku kalau IQ-ku bukan pada tingkat
superior.
“Yaa
…, anggap aja itu usaha saya beradaptasi di klub seni masak dan sebagai
ujian perdana dari raja kuliner se-nu-san-ta-ra.” Aku meledek ucapannya
terang-terangan. “Saya rela hidup terkutuk setelah dikeluarin dari tim futsal
karena bola yang saya tendang nggak sengaja kena kumis Pak Haris sampai bulunya
rontok.”
“Jadi kamu mengkambinghitamkan kumis Pak
Haris?”
“Bu-bukan begitu maksudnya ….”
Siswa-siswi di belakangku yang mengantre
resepnya di ACC mendesah. Aku memang punya durasi ekstra bila berdebat dengan
Bu Meri. Bukan mauku menendang kumis Pak Haris yang waktu itu menjadi wasit.
Bukan kewajibanku menyalahkan kakiku demi menunjukkan kesalahanku. Namun, aku
malah dikeluarkan. Karena permainanku amburadul juga, sih. Sehingga, aku harus
mencari klub lain.
Disaat tepat, Bu Meri menawarkan klub yang
dipegangnya. Dia membujuk kepolosanku, kalau di klub baru nanti aku menjadi
raja dan dipuja wanita. Aku dimanjakan dengan makanan. Kupikir Bu Meri
menjalankan klub boyband. Aku sempat berimajinasi dan membayangkan rasanya di
sana nanti. Tanpa pikir panjang, aku mengisi formulir. Namun, impianku
diledakan basoka ketika aku ditunjukkan ke ruangan yang ada kompornya, gas
elpiji 3 kilogram, wastafel untuk mencuci piring, juga panci dan penggorengan
yang belum dicuci. Aku sering mendengar berbagai kasus penipuan dari temanku,
kemudian aku akan berkata ‘yang tabah, yah’ pada mereka. Tetapi saat
mengalaminya sendiri, dan ada seseorang berkata seperti yang kukatakan, tanpa
segan aku akan membalasnya, ‘yang tabah pale lu pe’ang!’.
Nggak ada peminat cowok di klub seni
memasak. Demi menyeimbangkan jumlah cewek, maka Bu Meri menghalalkan segala
cara. Mangsanya adalah siswa polos, baru keluar dari klub dan bercita-cita
ingin jadi bapak rumah tangga.
Bu Meri menyerah mengomentari seluruhnya
dan mengembalikan tulisan resepku, “Ibu harap masakan kamu nggak berbelit-belit
kayak resepnya.”
Aku mengangguk. Tugasku selanjutnya
menjadikan resep ini ke wujud nyata. Aku segera saja mengeluarkan isi keranjang
sayurku dan meletakkannya di meja keramik. Di sini tersedia kompor gas juga
panci. Sementara tetangga memasakku—Aryo sedang tahap memotong ayam.
Aku memotong sayuran cepat-cepat namun
terlatih. Sekaligus mendidihkan kaldu. Ini ibarat makan sambil baca buku, akan
mendapat ilmu juga kekenyangan.
Sepertinya sifat ibuku menular padaku, bukan
hal aneh aku terlewatkan membeli sebuah bahan dan teringat didetik terakhir
memasak. Ayam. Ya, tentu saja. karena kupikir memakai kaldunya saja sudah
cukup, jadi aku menghapusnya dari daftar belanjaan. Aku menyesal dan mengusap
wajahku merenungkan kebodohan. Aku menoleh pada kesibukan Aryo, setengah ekor ayam
menganggur di talenannya. Kurasa, aku masih beruntung juga.
“Boleh minta setengahnya, Yo?”
“Boleh, lima belas ribu.”
“Hah?” awalnya dia bilang ‘boleh’, kukira
gratis, “ah …, aku nggak butuh sebanyak itu. seperempatnya aja deh.”
“Empat belas ribu.”
“Kalo karena harga BBM nggak stabil, itu
sama sekali nggak ada hubungannya! Terlebih jarak kita nggak sampai semeter! Aku
ambil setengah aja kalau gitu.”
Dia memotongnya cepat kemudian
memberikannya padaku, cuek.
“Setengah ekor! Bukan setengah dada! Aaaaa
….”
Bisa frustasi!
Bagaimanapun juga, aku yang salah
melakukan transaksi tanpa kalimat lengkap. Orang yang telah berhasil menipuku
kuakui kecerdasannya. Aryo menadah tangan dan kubayar tunai nggak pakai ngeluh.
Daripada protes lebih jauh, aku memotong dadu dada ayam kemudian
mencampurkannya ke panci.
Selagi menunggu sayur matang, aku ke dapur
kotor mengambil mangkuk porselen. Membuat hiasan bunga dari cabai merah besar. Aryo
sudah mendahuluiku membawa masakannya untuk dinilai Bu Meri. Dari raut
gembiranya, dia pasti dapat nilai sempurna. Aku kemudian menyusulnya untuk
mendapat pujian membanggakan juga.
“Putra, kamu belum memberikan nama
masakan ini diresep. Sudah ada namanya sekarang?” Tanya Bu Meri sambil
mengambil sendok.
“Mungkin …, sayur sop hula hula rasa
hebat!”
“Ibu baru tahu kalau nama masakan bisa
sepanjang itu, dan diawali dengan ‘mungkin’ itu terdengar kalau raja kuliner
nusantara lagi kehabisan kreasi.”
Yang benar saja!
“Ibu mengharapkan inovasi dimasakan kamu,
tapi …, wortel bentuk segitiga? Kamu anggota iluminasi?” Bu Meri memiringkan
kepala mencoba memahami.
“Karena potongan bunga sudah terlalu mainstream,
Bu.”
“Dan ada apa dengan batang seledri ini?
Kenapa kamu nggak potong-potong, malah diikat, terus semuanya dicemplungin?”
Berhenti komentar, udah cicipin aja
kenapa!
“Sekarang Ibu cicipi ya ….”
Nah …, gitu dong!
Ini seperti adegan sinetron sewaktu peran
antagonis meracuni makanan untuk orang yang dibencinya. Selanjutnya dia tertawa
jahat ketika protagonis berhasil masuk perangkapnya dan memakannya. Mengapa aku
begitu yakin makananku beracun? Sebelum dihidangkan, aku sudah mencicipinya.
Nggak buruk-buruk amat.
Bu Meri menyesap kaldu. Terasa janggal
di lidahnya, namun dia memilih menelannya daripada memuntahkannya di depanku.
Aku tahu, amuk massa akan menghampiriku. Aku sudah siap! Sangat siap!
“Kamu berani masukin gula merah ke sayur
sop?!” dia mengerutkan kening, matanya terpejam geram, “ini ibaratnya kayak seseorang
yang punya ketampanan sempurna tapi dirusak karena dia menyukai sesama jenis.”
Itu berupa penistaan. Kalau memang
rasanya buruk langsung saja!
“Ya …, percaya nggak percaya deh …,
anggap saja saya udah ciptain kolak sayur. Saya kira ini akan cocok disantap sama
orang yang suka manis pedas.”
“Tapi asinnya se-Kalimantan!”
“Mana mungkin?”
“Tunggu hasil pengumumannya di mading
besok!”
***
Mungkin saja, aku harus membuang
sebagian kepercayaan diriku …, barang sedikit saja …, Saat melihat mading di
sore hari keesokannya, aku ternganga bagai mainan ikan-ikanan magnetku sewaktu
kecil. Namaku ditulis besar-besar dan nggak ada nilai bagus, malah disuruh mengulangi
ujian minggu depan. Beginilah nasib raja kuliner nusantara, kurasa ….
Aryo menepuk punggungku begitu tahu
kekalahanku, “tabah aja, ini bukan akhir hidup. Nasib kita mirip.”
Tepukan dibahuku menyadarkanku dan aku
menatapnya gusar mematikan. Dia menyadari tatapanku dan membalas hal sama.
“Jadi ini pelaku garem se-Kalimantan itu!”
“Kalau nggak salah, loe yang taroin jahe
dua kepalan tangan kucing di pecel ayam gue! Kepala Bu Meri sampai nyut-nyutan.
Yang terburuk, dia komentarin masakan gue sambil senyum. Itu berarti akhir dari
impian gue jadi bapak rumah tangga!”
“Aryo, aku bakal bunuh kamu suatu hari!”
“Nggak bisa! Gue harus bunuh lo duluan!”
Komentar
Posting Komentar