My Scary Me
“Selama
rasa dendam tidak bisa kubawa pergi dan kubuang jauh dari wujud ini. Aku tidak
akan membiarkanmu pergi.”
Di kota Esmerald pada malam hari—seperti yang mereka tahu, senyap dan
hening bersatu. Nyaris tak bersuara,
selain ketukan ritme langkah kaki yang mengadu pada bumi. Ia terhenti di tengah
pertigaan—berpisah pada ketiga kawan. Lantas, sendirian ia melanjutkan
perjalanan ke jalan Ruby menuju perumahannya. Lampu jalan redup, angin malam
yang menusuk rusuk, seakan tak penat mengikuti langkahnya.
Ia tak lama sadar—sebuah siluet tubuh berbeda membututinya. Namun, tak ada
suara langkah kaki atau hembusan napas yang terserap telinga. Apapun itu, ia memilih
untuk tidak menoleh ataupun terhenti untuk sekedar memastikan. Bisa jadi itu pencopet atau pemerkosa
yang sudah terlatih. Berpikiran negatif, membuat napasnya sengal. Dahi dan
telapak tangannya berkeringat—ia berjalan sambil mengempit tasnya rapat, lebih
tergesa.
Tak terduga, ia dengan berani menghentikan langkahnya dan berbalik, menoleh
ke kanan kiri dan bersuara dengan mimik ketakutan, “siapa di sana?”
Hening. Tak ada yang membalas, tak ada sesiapapun di sana. Lalu ia kembali
menghadap ke depan, bersiap untuk mengambil langkah lebih panjang. Akan tetapi,
sang pemilik Mata Fajar mencekalnya dari jarak lima centi sambil menatapnya
seperti santapan enak tersaji.
Sang pemilik Mata Fajar pun mendesis, “jantung yang lezat.”
Wanita itu memekik di kesunyian
malam.
***
Aku menguap, nyaris seharian aku merebahkan diri di ruang televisi. Sesekali menukar posisi tubuh
agar lebih nyaman. Jika lapar, aku meminum segelas susu didampingi donat di
meja. Setidaknya, aku melakukan hal tak berguna ini sampai tengah malam.
Aku meninggalkan rumah berjalan kaki ke Cafe Ginevla untuk bekerja.
Di sana, aku menjadi seorang pelayan yang pekerjaannya mencatat menu dan
mengantar makanan. Terkadang, aku membersihkan cafe jika disuruh.
Temanku bilang, aku insomnia—kubilang bukan—tapi ia malah mengejekku ‘dungu’
karena tidak mengerti kondisi sendiri. Untuk kedua kalinya, kubilang ’tidak!’ Agak kencang. Ia pun bungkam setelah melihat bola mataku berubah merah, semerah fajar membakar bumi. Keesokannya
datang sebuah kabar—seseorang mati tanpa jantung di cafe itu, pelakunya tak
meninggalkan jejak. Kisah ini mengingatkanku pada kejadian dua tahun silam. Seorang
siswi mati mengenaskan di
sebuah jalan tanpa jantung. Ada puluhan yang bernasib sama dengan mereka, “mati tanpa jantung”. Selalu ada yang mati
saat aku meninggalkan tempat yang kudatangi. Dulu aku tak mengerti dengan
keadaan ini, tetapi semua berubah saat sebuah makhluk datang di kehidupanku.
Aku pulang membawa kantung belanjaan pagi buta, rencananya aku ingin
membuat sandwich daging asap
dan selada merah di dapur.
WWUSHHHH!!!
Hembusan angin tak lazim lagi membuka lebar jendela dapur sebelah kanan. Setidaknya
tunggu aku selesai membuat sandwich dulu.
“Taarrraaa ....”
Pria berkulit putih dengan bentuk rahang sempurna datang bersama angin
barusan dan tak lupa memberikan efek ceria saat tiba. Ia pikir dengan kedatangannya
aku akan senang? Karena tidak
ada respon dariku, senyuman dungu itu pun ia hentikan dengan kejam dan segera
mengganti mimiknya dengan yang kecut.
“Kau selalu begitu, wajahmu menunjukkan tidak ingin punya teman.”
“Apa alasanku untuk senang saat kau datang?” Aku masih sibuk dengan
sandwichku.
Ia tampaknya senang dengan pertanyaanku, “karena aku Zepa Clocka! Seorang
Malaikat dan kau tahu tugasku apa?” Tanyanya yang selalu ia bahas setiap pertemuan.
Lucu memang, seorang pria
memakai pakaian terusan sedengkul
berwarna putih yang lebih mirip daster ini adalah Malaikat? Mungkin sedang
magang.
“Kau datang untuk menggangguku?”
“Bukan! Tapi untuk melindungimu.”
Sejak kedatangannya, tragedi kematian itu berkurang. Entah apa yang
dilakukannya. Aku berkali-kali memintanya untuk menjelaskan, tapi ia selalu menolak
seolah aku belum cukup umur untuk mendengarnya.
“Zeeqwa! Kau makan roti isi?” Tanyanya histeris sambil menatap lima sandwich buatanku.
“Aku sudah terlatih, semoga tidak kembali berubah.”
Ia mengangguk sambil memayunkan bibirnya.
Diawal pertemuanku dengan Zepa diumur lima belas. Aku tidak diperbolehkan berduaan dengan manusia dan tidak boleh mengkonsumsi
makanan mereka. Katanya itu akan
memancing si Mata Fajar untuk datang. Setelah berlatih selama dua tahun, aku
bisa melahap makanan
manusia tanpa kehadiran si Mata Fajar. Tetapi, soal berduaan dengan manusia
adalah hal yang sangat sulit untuk dilatih, karena harum jantung mereka sangat
menggiurkan.
Sandwichku sudah siap disantap, aku meletakkannya di piring kemudian membawanya ke ruang tengah
dan beranjak memakannya sebelum Zepa mencegahnya mendarat ke mulutku.
“Kemarin ada yang mati lagi, kau tidak bisa membohongiku,” ungkapnya serius.
“Waktu itu aku sedang lapar.”
Setelah ia melepas tangannya, aku langsung memasukkan sandwich demi
sandwich ke dalam mulut tanpa mengunyahnya.
DEGG!!!
Waktu terasa terhenti begitu juga dengan kerja otakku. Sandwich yang kupegang
terjatuh—tanganku serasa lumpuh—dadaku sesak—nyaris
tak ada oksigen. Sesuatu yang panas keluar secepat kilat menyebar ke tulang,
pembuluh darah, daging, lemak, lalu kulitku. Aku hampir tak dapat merasakan
rohku ada.
“Si Mata Fajar kembali!!” Zepa mengambil posisi—menjaga jaraknya tetap sepuluh
meter di depanku. Ia selalu tak bisa menyembunyikan rasa paniknya. Ketegasan
itu datang begitu saja saat ia menghempaskan jurus jarak jauh dari telapak
tangannya ke arahku—membuat bagian belakang kepalaku tertinju telak menatap
lantai—kekuatannya menahanku bangkit dari sofa.
Sang pemilik Mata Fajar brontak—melepaskan segel mantra seperti merobek
bahan katun. Zepa terkejut. Sang Mata Fajar tidak memaafkannya—Zepa mendapatkan
balasan serangan yang lebih kejam. Lewat erangan kemurkaan—ia mengeluarkan aura
hitam pekat mematikan, hingga Zepa terpental ke atap dan membuat rekahan besar.
Zepa terjatuh perlahan seperti air yang menetes di dedaunan dan tak sadarkan
diri. Dalam kecepatan permilidetik sang Mata Fajar berada dihadapannya.
“LARI!!!” Aku begitu mengkhawatirkannya, namun hanya sanggup memekik dalam hati. Percuma, Zepa tak bisa
mendengarnya. Dalam keadaan mata yang masih terpejam, ia tampak kesakitan.
Dengan tangan kanannya, Sang Mata Fajar mencekik hendak menghabisinya. Kaki Zepa meronta-ronta
kehabisan napas. Lalu Sang Mata Fajar menghunuskan kuku tajamnya ke dada Zepa. Untung
saja Zepa cepat-cepat membuka matanya dan segera berteleportasi. Sang Mata Fajar
pun kehilangan jejaknya.
Saat-saat genting seperti ini, seseorang mengetuk pintu rumahku dan tanpa
kusadari Sang Mata Fajar sudah berada di depan pintu. Lalu ia membukakan pintu
dan melihat Firsta sedang tersenyum di baliknya.
“Hai ..., Zeeqwa!”
“Oh ..., tidak! Jangan
sekarang!!” Teriak
gemetarku dalam hati. Aku sadar jika hal itu tidak mungkin bisa didengar
olehnya.
DEGG!!!
Aku mengambil sekali napas panjang seolah aku baru terkurung di dalam rumah
yang terbakar untuk kemudian menghirup oksigen yang melegakan paru-paru. Aku
sempat tidak memercayainya, jika aku bisa berubah sendiri tanpa bantuan Zepa. Berkali-kali
aku menepuk-nepuk pipiku sampai membuat pria yang mempunyai mata ramah di hadapanku terheran-heran.
“Ada apa, Zeeqwa?”
“Tidak apa-apa,” jawabku sambil tersenyum kebingungan.
Aku segera mempersilakannya masuk, rumahku sudah dianggap rumahnya sendiri
begitupun sebaliknya. Sejak kecil kami sudah dekat, saat sekolah dasar Firsta
pernah diganggu preman jalanan dan aku datang untuk menolongnya. Bukan tanpa
alasan dia menjadi pria
lemah, dia punya penyakit jantung.
Di rumah sakit dia hanya duduk terdiam di kursi rodanya sambil memandang
anak lain bermain di taman lewat jendela. Ia pernah hampir meninggal saat
berumur sepuluh karena tidak adanya pendonor jantung yang cocok. Tapi, dia terbilang
beruntung. Dimasa komanya, orangtuanya berhasil menemukan pendonor yang cocok. Setelah
operasi pencangkokan berhasil, ia kembali hidup dan tidak lemah lagi. Sekarang
gantian dia yang melindungiku atau aku yang akan mematikannya suatu saat nanti?
Firsta meletakkan brownies yang
sudah dipotongnya menjadi beberapa bagian di meja makan. Aku memakannya. Ia sempat
terheran-heran saat melihat kediamanku yang kacau. Aku berbohong dengan
mengatakan jika rumahku sedang direnovasi dan belum selesai diperbaiki. Setelah
itu, tak ada pertanyaan lagi darinya, kami pun saling terdiam sambil memakan
kue brownies kesukaan kami. Teleponnya
tiba-tiba berdering, mengganggu suasana. Ia melihat layar telepon genggamnya
dan segera meminta pamit padaku. Aku memperbolehkannya. Kemudian Zepa kembali muncul
dengan napas yang terengah-engah. Ia segera menarik tanganku.
“Coba kulihat tanganmu.” Zepa memperhatikan tato di pergelangan tanganku,
terjejer empat baris garis merah berukuran satu centi, Zepa terkejut.
“Tidak mungkin ...,” gumamnya sambil
tebelalak kaku.
“Kenapa?”
“Bagaimana bisa kau tidak menyerang pria itu?”
“Mana kutahu?”
“Apa kau sadar akan garis ini?”
“Memang ada apa dengan garis ini?”
“Satu garis diumur lima belas, sifatmu berubah menjadi si Mata Fajar namun
hanya bisa memberontak. Garis kedua diumur tujuh belas, kau mulai membunuh satu
persatu manusia tanpa memakan jantungnya. Garis ketiga saat kau berumur dua
puluh satu, kau sudah mulai memakan jantung. Namun, masih bisa kukendalikan.
Garis keempat diumur dua puluh tiga, tanpa melanggar pantangan kau bisa
langsung berubah dan tidak dapat dikendalikan. Garis kelima entah diumur berapa,
wujudmu akan berubah dan kau bisa mencabik seratus orang dalam lima detik”
“Berubah?”
“Jika satu garis lagi muncul kau akan berubah wujud menjadi ‘IB-LIS’.”
Aku tidak pernah takut pada apapun,
kecuali mengenai berita itu. Aku menggigil membelalaki Zepa.
“Sepertinya aku harus memberitahumu sesuatu,” Zepa berpindah duduk di seberangku, mengambil
sepotong brownies di meja dan memulai bercerita. “Di depan gerbang Neraka yang merah
membara. Para iblis mengantri untuk mendapatkan hukuman dari dosa-dosa yang
mereka buat. Setelah masuk ke dalam lautan api yang panasnya tak terbayangkan
akal makhluk hidup, mereka akan dipastikan lenyap tak tersisa dan dinyatakan
tidak dapat masuk ke bumi lagi untuk menganggu manusia.
Salah satu Iblis menolak perintah itu dan memilih kabur dengan kejeniusannya
mengkelabui para Malaikat. Iblis itu pun berhasil keluar dan menyamar sebagai
sesosok pria dan hidup sebagai manusia normal di bumi, para Malaikat tidak bisa
mencium keberadaanya karena penyamarannya yang hebat. Iblis itu memiliki nama,
namanya Novroz.
Di bumi Novroz menemui seorang wanita yang digilainya, wanita
itu bernama Avrist Lotus. Lotus bekerja di panti sosial, dia terkenal ramah dan
murah senyum, juga kebaikannya yang sempurna seperti malaikat. Novroz
sudah mengamati tingkah Lotus sejak ia dilahirkan, itu juga menjadi alasan Novroz meninggalkan Neraka.
Novroz telah jatuh cinta pada manusia, karena pada hakikatnya iblis seharusnya
membenci manusia.
Sebulan berkenalan, Novroz dan Lotus saling jatuh cinta dan mempuyai anak
tanpa pernikahan. Anak yang dilahirkan Lotus berbeda dari anak-anak lainnya, bola
mata anak itu bukan coklat melainkan merah semerah fajar. Lotus terkejut,
kemudian Novroz menceritakan semuanya pada lotus jika ia adalah Iblis yang
menyamar sebagai manusia karena jatuh cinta kepada manusia berhati Malaikat. Novroz
salah menduga, dikiranya Lotus akan menerimanya. Namun, kenyataan berbalik dari
apa yang dikirakannya. Lotus menggila. Ia berteriak, mengusir Novroz bersama
dengan anak haramnya yang baru berumur sehari.
Novroz sedih, walau ia sudah meminta maaf berulang kali Lotus tidak mau dan
tidak akan pernah memaafkannya. Lalu Novroz berkata, “jika di Neraka lebih indah dibandingkan di sini aku
akan kembali. Jika di bumi tidak ada yang dapat menerima cintaku, aku tetap akan
mati di sini. Sejujurnya aku ingin mati bahagia dengan cinta, mari kita mati
bersama saja.” Di hadapan Lotus, seketika Novroz berubah menjadi sesosok iblis
yang mengerikan. Matanya berubah merah begitupun dengan kulitnya. Dia punya
kuping yang panjang dan kepala yang tanpa rambut. Lotus hanya dapat berteriak
saat Novroz meruncingkan kuku kelima jari kanannya untuk kemudian menembus
rongga dada Lotus, mengambil jantungnya, kemudian memakannya sambil menangis
darah.
Lotus sudah tak bernyawa saat para Malaikat datang, Novroz masih berada di
tempat sambil menghabiskan jantung Lotus. Kemudian para Malaikat membawanya kembali
ke Neraka untuk mematikannya.
Sementara anak yang dilahirkan mereka tetap berada di bumi karena belum
pantas hidup di Neraka dengan wujud setengah manusia setengah iblis. Tentu saja
dengan pengawasan yang ketat dari seorang Malaikat. Yaitu aku.”
Aku menelan ludah dan berharap ia berbohong. Namun, tatapan matanya meyakinkanku
untuk percaya dan segera aku percaya.
“Jadi, apa yang harus kulakukan?”
“Kau tidak dapat mengubah takdir, Zeeqwa Lotus.
Aku pun begitu. Aku hanya dapat melindungimu dan mencegah makhluk itu keluar
dengan cepat.”
Kami terdiam. Entah apa yang harus kulakukan saat sebuah takdir yang tidak
diinginkan menyerang kehidupanku.
“Aku akan mencari tahu alasan sang Mata Fajar tidak menyerang Firsta,”
sambungnya.
Kemudian Zepa menghilang dan meninggalkanku dalam kebingungan juga
ketakutan.
***
Jam dua dini hari, aku tetap terjaga mengerjakan pekerjaanku. Walau kutahu jika
lelahpun aku tidak dapat tertidur sejak umur lima belas tahun. Saat berkaca di
toilet aku sempat terkejut, dulu aku sangat cantik. Semenjak kantung mata ini datang,
aku terlihat buruk, tak segar dan tak sedap dipandang lagi.
DEGG!!!
Tiba-tiba saja nafasku terasa berat, nyaris tak dapat bernapas. Ada sesuatu
yang panas keluar secepat kilat menyebar ke tulang, pembuluh darah, daging,
lemak lalu kulitku. Aku hampir tidak dapat merasakan rohku ada. Seluruh badanku
bergetar dan mengeluarkan banyak keringat akibat menahan nafsunya. Wajah dan
bibirku nyaris pucat. Jantung manusia layaknya morphine bagiku, setiap menginginkannya aku harus mendapatkannya.
Jika tidak, aku akan mati dalam nafsunya.
Aku segera mengambil borgol di dalam saku celana dan memborgol tanganku
bersama keran wastafel. Aku segera berjongkok dan menyudutkan diri di
sampingnya, kedinginan, membeku seperti tanpa baju. Aku merindukan kehangatan.
Aku berupaya menahan nafsu membunuhnya yang sangat kuat. Untungnya, tak ada
sesiapapun di sini.
Kudengar pintu berdecit, diringi langkah kaki seseorang masuk dengan sepatu
ketsnya.
“Oh ..,.
tidakkk!! Kumohon jangan mendekat!”
Aku segera menundukkan kepalaku hingga mencium dengkul dan lebih merapatkan
posisi berjongkokku.
“Zeeqwa!”
DEGG!!!
Tiba-tiba saja panas yang menyergap tubuhku sekejap hilang, untuk kedua
kalinya aku kembali kesifat semula tanpa bantuan Zepa. Firsta ikut berjongkok
dan menatapku dengan cemas. Aku mendongak menatapnya, bola mata biru kehijauannya
indah sekali.
“Kau baik-baik saja?”
Aku tersenyum, “iya! Aku
hanya lelah dan beristirahat di sini.”
“Pasti ada tempat yang lebih baik untuk beristirahat, kan?”
Setelah itu kami berdua tersenyum lepas.
***
Firsta mengajakku minum di salah satu meja makan. Ia memesankan beberapa
makanan untukku. Aku bilang aku tidak makan, tapi dia memaksa dan terpaksa aku
memakannya. Seperti biasa dia hanya terdiam, tidak memulai topik, terkadang
hanya membalas senyum saat kutatap atau mengamati sekeliling cafe miliknya.
Aku membayangkan dia memakai toksedo. Aku memakai gaun hijau lumut yang
elegan. Kami duduk di meja yang sama. Para pelayan dengan setia menjamu kami,
banyak makanan enak yang terhidang, begitupun dengan bunga-bunga lotus yang
menghiasi malam kami.
***
Aku masuk ke dalam rumah. Zepa sudah menungguku di ruang tengah. Ia
bersandar di dinding menatapku layu. Tak seperti biasanya ia yang ceria. Aku
lalu membuka sepatu dan segera melewatinya tanpa menyapa. Tatapan itu masih
terasa sampai aku berada di dapur dan meletakkan bahan memasak di atas meja.
“Kalau mau bicara, bicara saja.”
“Sepertinya kau bukan orang yang bisa membaca hati,” sahutnya. Membuatku
kesal.
“Selama ada mulut, gunakan saja mulutmu.”
“Aku melihatmu tadi, berubah menjadi monster. Tapi saat Firsta datang,
semua itu berakhir.”
“Ah ...,” aku menepak keningku.
”Aku juga tidak mengerti alasannya.”
“Apa kau tau? Ternyata kutukan itu bisa hilang oleh cinta.”
“Benarkah?”
“Apa kau menyukainya?”
“Aku tidak tahu.” Aku segera
memasukkan sayuran ke laci lemari pendingin. Aku sengaja menghalangi wajahku
dari tatapan sendunya. Sesaat aku menyadari sesuatu dan kembali menatapnya, “kau cemburu?”
Zepa terdiam sejenak sambil memalingkan wajahnya untuk menutupi sesuatu
yang keluar dari matanya. Dan sesaat, ia menatapku dengan mata berair, barulah
setelah itu dia mau menjawab. “Dari sekian banyak Malaikat, kenapa hanya aku yang mau melindungimu?” Dia kembali terdiam untuk menyeka
airmatanya.
“Aku rela berlatih mengembangkan kekuatanku untuk menyembuhkanmu, mereka
bilang jika hal yang aku lakukan akan sia-sia, tapi aku tidak peduli.” Ia menggelengkan
kepala, satu demi satu airmatanya terjatuh. “Aku tetap tidak peduli, karena ini
menyangkut orang yang kucintai. Aku sudah bersamanya sejak ia lahir ke dunia
ini dengan wujud yang dibenci,” sambungnya.
Aku membanting pintu lemari es, “lalu apa sekarang aku harus berterima kasih padamu?”
“Memang benar yang kulakukan selama ini hanya sia-sia. Setelah merasa
hidupnya sempurna, manusia akan melupakan Tuhan. Padahal, Tuhan yang telah
memberinya kesempurnaan!”
“Selama ini saja aku masih belum percaya jika Malaikat itu ada!”
“Aku tidak peduli kau mau percaya atau tidak, mulai sekarang aku pergi dan
menyempurnakan ketidakpercayaanmu tentang Malaikat, sekaligus menyempurnakan
kesia-siaanku karena telah
membantumu.” Kemudian Zepa menghilang.
“Kau pergi?! Kau takut
kalau aku berubah dan menyerangmu lagi?” Aku kesal dan membanting pelaratan dapur.
Aku sadar apa yang kulakukan detik ini. Aku tidak menyuruhnya untuk cemburu
dan menjadikanku seseorang yang paling menyesal di dunia ini.
***
Ia tahu aku tidak punya uang, jadi dia membawaku ke sebuah butik mahal. Saat
kutanyakan untuk apa pakaian itu nantinya. Firsta malah diam menunjukkan
senyumnya yang tak pernah bosan untuk kulihat.
Ia memilih setiap baju yang terpasang rapi di rak, sementara aku terdiam
mengekor di belakangnya. Yang ini tidak cocok, yang itu tidak cocok. Ini sudah
kelima kalinya dia menyuruhku untuk kembali ke ruang ganti dan mencocokkan gaun
lainnya. Jangan–jangan dia tidak benar-benar ingin membelikanku salah satunya.
“Yang ini bagus!” ia segera menghampiriku yang berdiam di depan kamar ganti
dengan gaun hijau lumut panjang menyapu lantai dengan punggung dada yang
terbuka. Ia pun masih ingat dengan warna kesukaanku.
“Kau cantik,” pujinya membuatku tersipu.
***
MALAM waktu yang mengganggu untuk seorang ibu yang
sedang terlelap tertidur saat mendengar anaknya menangis. Malam, begitu menggairahkan
untuk sepasang kekasih. Malam, bagiku saat di mana aku bukanlah aku, di mana
nafsu iblis itu sudah tak bisa kukendalikan seutuhnya.
”Selama iblis ini tidak bisa kubawa pergi dari
tempat ini. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.”
Permadani bermotif simpel, lampu dan musik klasik.
Para pelayan siap membuatku mabuk dengan winenya, makanan kecil dan tamu
berdansa di tengah aula. Aku tak kalah cantik dan berkelas. Sama seperti yang
aku bayangkan sebelumnya. Tanda-tanda kemunculan iblis itu tidak tampak dan aku
bisa tenang. Aku yakin sudah sembuh dan tak perlu cemas.
Langkah kaki itu mendekatiku dengan halus dari
arah belakangku, lalu ia menepuk bahuku. Aku segera berbalik dan melihat senyumnya
merekah.
“Frista!” seruku ikut tersenyum.
Seorang wanita muncul dari arah belakangnya dan menatapku dengan ramah. Firsta
memperkenalkannya, “Dia Crisan,” ucapnya riang.
Lalu aku dan wanita itu menjabat tangan.
“Ia tunanganku,” sambungnya.
Sesegera aku menciutkan senyumanku dan melepas
tangan kami. Aku sadar jika saat ini warna mataku berubah karna semua yang
terlihat menjadi merah.
“Kau sudah punya kekasih?” tanyaku lirih.
“Maaf karena terlambat memberitahumu” jawabnya
sambil tersenyum bersama Crisan. Seakan aku tidak keberatan, seakan aku berdiri
di sini untuk mereka.
DEGG!!!
Denyut jantungku bergema ke telinga, tubuhku
memanas. Inilah! Ia akan muncul. Tidak bisa! Jangan sekarang! Sekuat apapun aku
berusaha untuk mencegah kemunculannya, semakin kuat terasa ia ingin menunjukkan
dirinya.
Tulang rusukku bergurat di kulit bagian depan
maupun belakang membuat gaunku robek, itu menyakitkan. Setiap guratan tulang
yang tampak adalah penderitaanku untuk menahan rasa dendam. Kupingku meruncing
dan rambutku rontok satu persatu, kulit disekujur tubuhku berubah merah semerah
api di Neraka.
Semua orang yang menatap, semua orang yang mencium
bau busuk yang kupolusikan ke ruangan ini menjerit dan segera berlarian keluar
aula dengan bermacam-macam ekspresi. Takut, panik, sesak. Itu makhluk apa?
Mengerikan. Bau. Menjijikkan. Aku tidak mau dimakan makhluk itu! Aku bisa
membaca pikiran mereka, jelas sekali. Aku melambaikan tanganku ke arah pintu
masuk dan pintu pun tertutup rapat. Mereka terjebak dan kebisingan bertambah
sepuluh kali lipat.
Lantas aku menyerang seratus orang dalam 5 detik
seperti kata Zepa. Lalu aku mengumpulkan jantung mereka di meja makan seperti
mengupas kacang dari kulitnya atau terkadang aku mencicipinya sedikit karna
tidak sabar dengan kenikmatannya. Golongan darah tipe A adalah yang paling
kusuka.
Setelah menghabisi tamu terakhir, aku menoleh ke
arah Firsta. Dia masih berdiri sendirian di tempatnya sambil mengarahkan
rosario perak kearahku dengan gemetar, dahinya bercucuran keringat dan mulutnya
tak henti bergumam sesuatu.
“Zeeqwa lotus, entah sekarang kau ini apa. Tapi,
aku mohon jangan bunuh aku!” Pintanya memelas, beberapa tetes air tumpah dari matanya. Dia masih saja
lemah, setidaknya ia bisa menahan air matanya saat melihat wujud asliku.
Aku hanya memandangnya dingin. Aku tak
menghiraukannya lagi. Lalu dengan kecepatan tak lazim aku sudah berada di
hadapannya. Ia terkejut namun tak dapat berlari. Aku menghunuskan begitu saja
kelima kuku runcingku ke bagian dadanya, jantung yang ia anggap berarti ini,
ternyata mudah saja kulepaskan. Kemudian aku menembus segera untuk mengambil jantungnya
tanpa belas. Sementara jasad Firsta terkapar di lantai, aku langsung memakan
jantungnya diiringi dengan mengucurnya setetes demi setetes cairan kental
berwarna merah dari mataku. Ini tangisan duka, tangisan para iblis yang kecewa.
Setelah itu para malaikat datang. Mereka selalu
terlambat. Zepa tak ada. Dia tak muncul lagi sejak kecemburuan itu. Kedua
kakiku diborgol dengan pemberat besi. Tanpa perlawanan aku dibawa pergi ke Neraka
untuk dimusnahkan menyusul Novroz.
“Ketika kau membuatku kecewa dan menambah dendam
di dalam wujud ini. Aku akan selalu menjadi aku yang menakutkanku.”
Jakarta,
20 September 2011
Notes:
And then lihatlah
tanggalnya, ketika gue yang sering berkomedi berubah jadi ‘aku yang menakutiku’.
Nostalgia, ini ditulis buat melatih genre, karena dulu gue adalah penulis yang
pengin bisa segala genre, ditulis kurang lebih sebulan sambil dengerin lagu OST
drama korea gitu kalau nggak salah, gue bikin ini sampai nangis saking
menghayatinya.
Waktu bikin ini, gue
kebingungan sama judulnya, dan orang-orang mulai bertanya arti judul itu. Tapi
menurut gue judulnya menjual laaah.
Setelah jadi, gue ikutin ke
lomba cerpen Writing Revolution dengan syarat ngepost cerita di notes facebook,
dan yang mendapat like terbanyak adalah pemenangnya. Waktu itu kalau nggak
salah, likersnya ada seratusan dan kalau nggak salah dapat juara kedua setelah
banyak dapat kritikan, dan berkesempatan belajar gratis secara online.
Dengan sedikit merevisinya,
gue beranikan untuk ngepost lagi, karena ini salah satu cerpen yang
berperestasi dan dibuang sayang.
Selamat menikmati
Regards,
Arbie Sheena.
Komentar
Posting Komentar